LGF (20) - Avoid

6.9K 740 73
                                    

     Ada ketukan halus pada daun pintu kamar yang kemudian mengusik lamunan beserta tangis kecil Sisi. Suara ibundanya terdengar menyusuli.

     "Si..., bangun, Sayang. Makan malem dulu, yuk! Ada Digo, tuh, di luar."

     Sisi menganga kecil dan langsung tersenyum kecut dari dalam kamarnya. Dipeluknya guling erat-erat, dasar cowok nggak tau diri! makinya dalam hati.

     "Si! Kamu udah tidur, ya?!"

     Sisi masih bergeming pada posisi berbaring miring sembari memeluk erat gulingnya. Saat itu juga disekanya air mata dan berdeham-deham kecil mengatur suara.

      "Aku udah makan di sekolah tadi, Bundaaa," sahutnya kecil.

     "Tapi ada Digo, tuh, di luar."

     "Suruh dia pulang aja," jawab Sisi, masih dengan isak tertahan.

     Hening.

     "Kok, suaranya sengau? Kamu lagi flu, ya?! Makanya Bunda bilang jangan pulang ujan-ujanan. Bukain pintunya dulu! Bunda mau masuk." Nada suara dari luar pintu kamar Sisi terdengar khawatir.

     "Aku nggak pa-pa, Bunda." Kali ini, suara gadis itu justru tercekat. Dia kontan menutup mulut, tangisnya justru kembali pecah. Namun, ditahannya sekuat mungkin hingga bahunya terguncang.

     "Sisi!"

     Hening. Sisi menarik dua lembar tisu dan menyeka-nyeka air mata beserta cairan hidungnya. "Ya, Bunda."

     "Bukain pintunya dulu, Bunda bilang!"

     "I-iya, Bunda, bentar." Sisi terpaksa bangkit dan menyisir rambutnya dengan jemari sebelum membentuk sanggul sederhana dan menjepitnya asal. Dirapikannya seprai, lalu dibukanya daun pintu.

     Klek.

     "Astagfirullāh al-'aẓīm, Naaak! Muka kamu kenapa?!" Riani langsung membekap kedua pipi anaknya dengan masing-masing kedua telapak tangan hingga kepala sang putri mendengak di hadapannya. Lantas, diraba-rabanya dahi beserta leher gadis tersebut. "Kamu demam. Pasti abis ujan-ujanan tadi, kan? Kenapa sih pulang harus ujan-ujanan? Kan, ada Digo. Tadi harusnya minta jemput aja. Kalian emangnya nggak ketemu??"

     Sisi kembali menahan tangisnya. Seandainya saja Bundanya tahu, ini pasti lebih menyakitkan dari apa yang dialaminya sepanjang senja tadi. Ya, senja yang telah menghancurkan hati sekaligus harapannya. Lagi-lagi napas Sisi tertahan. Rasa sakit menggunduk dan menciptakan sesak.

     "Si?"

     "Yy ... ya, Bunda?" jawab Sisi terbata. Riani ternyata masih berada di ambang pintu kamar.

     "Kata Bunda kamu makan malem dulu, ketemu Digo sebentar, terus minum obat, istirahat," desak Riani.

     "Kan, aku bilang tadi aku udah makan, Bundaaa."

     "Tapi ada Digo di luar, kamu nggak nemuin dulu? Bunda tadi udah ajak dia makan, dia nolak, katanya mau ketemu kamu."

     Sisi menghela napas tidak keruan. Perasaannya campur aduk. Tetapi, benci dan amarah tetap paling mendominasi. "Suruh dia pulang aja, Bun."

     "Bentar," Riani tiba-tiba saja menatap selidik wajah anak sulungnya, "kalian berdua lagi berantem, ya?"

     Ya, momen ini pada akhirnya memang tidak bisa dihindari juga. Masalah ini bukan saja menyakitkan, tetapi sulit bagi Sisi untuk menjelaskan keadaan sebenarnya sebab dia harus menjaga perasaan kedua orangtuanya. Jangan sampai mereka tahu bila Digo berbohong, bila Digo sudah mempermainkan diri dan keluarganya. Seharusnya cukup Sisi saja yang tahu dan menerima kesakitan ini. Bagaimana pun nanti ujungnya, demikianlah keputusan terbaik untuk saat ini, yaitu menyembunyikan fakta menyakitkan tersebut.

Little GirlfriendOnde histórias criam vida. Descubra agora