LGF (3) - The Robbers

11.2K 1.2K 34
                                    

     Hari sudah meninggi. Sudah berapa jam pula kendaraan Digo berputar-putar di jalan raya. Latihan menembaknya kurang begitu lancar hari ini. Semua itu disebabkan oleh pikirannya yang tengah semrawut.

     Jalanan tidak semacet jam pulang kerja. Namun, duka dan kecewa di dada Digo membuat harinya terasa berat. Lelaki itu mengemudi dengan pikiran penuh dan buntu. Penelitiannya masih dalam proses alot, muncul pula tekanan dari Adnan agar dirinya segera lulus dari universitas. Tentunya, untuk segera menikah dengan wanita yang telah dipilihkan pula oleh sang ayah.

     Digo terkekeh pahit seraya menekan kesal klakson mobilnya kala berhenti di lampu merah. Untuk seperti inikah tujuan dirinya dilahirkan? Dibesarkan dengan doktrin serta dikte khusus, lantas kemudian diserahkan kepada wanita yang bahkan kurang dia kenali, dalam sebuah ikatan pernikahan.

     Usia Digo baru dua puluh dua tahun. Namun siapa pun pasti tidak menyangka bila ia telah memiliki calon istri. Bahkan sejak setahun yang lalu, yaitu pada hari peresmian pertunangannya dengan anak perempuan dari rekan bisnis keluarga mereka.

     Adalah Sabrina Rannan Effendi, seorang wanita dengan paras yang memang tidak bisa Digo sangkal, cantik. Memang cantik. Usianya tiga tahun di atas Digo. Kini pula sedang berada di Beirut, Lebanon dalam rangka meraih gelar magister. Hanya saja dari segala hal menguntungkan yang Sabrina punya, ada sisi negatif yang sulit dipungkiri, bahkan sulit bagi Digo untuk menerimanya secara tulus.

     Sabrina adalah sosok yang sangat gesit, ambisius serta mendominasi. Dia terbiasa hidup dengan pola pikir konservatif dan selalu mempunyai kemauan sendiri, bahkan selalu menggapainya dengan berbagai cara.

     Sekali dua kali Digo mencoba berkencan dengannya agar mendapat chemistry, agar hubungan mereka terasa riil walaupun dimulai dengan perjodohan, tetapi selalu berakhir tragis. Sabrina jelas bukan tipe perempuan mampu mengetuk pintu hati Digo.

     Perasaan tidak bisa dipaksa. Mungkin ada yang tumbuh dengan berjalannya waktu, tetapi Sabrina bagi Digo merupakan sebuah kemustahilan. Dia pemarah, kasar serta egois. Setahun berjalan, mereka berdua masih belum mampu dipersatukan. Hanya saja Sabrina hingga kini masih nekad, masih berharap besar pada pernikahan mereka. Sebab bagi Sabrina, Digo adalah sosok lelaki baik, bertanggung jawab dan selalu membuatnya nyaman tanpa banyak berkata-kata.

     Digo menunduk, terkekeh lelah atas nasibnya. Dia tidak mampu memerdekakan diri dengan menghentikan semua ini. Ayahnya, Ibunya, juga Kakak lelakinya adalah pendukung utama atas hubungannya dengan Sabrina. Sering kali dia mencoba untuk memutuskan wanita itu, tetapi sebanyak itu pula ancaman menerpa. Sehingga Digo memvonis dirinya adalah sandera bisnis keluarga. Dia korban, dia sang penyelamat agar kerjaan bisnis tersebut tetap aman dan justru semakin jaya di puncak.

     Restoran bergaya Eropa tempat penghentian Digo. Di sinilah teman-temannya berkumpul. Dia naik dan disambut baik oleh resepsionis, lantas menghabiskan sisa hari dengan nongkrong, makan dan sedikit alkohol.

🌻

      "Daaah, Si! Gue duluan, ya!" Lintang melambaikan tangan dari dalam mobil sebagai bentuk perpisahan kepada Sisi.

     "Daaah, Tang. Ati-ati lo!" Sisi membalas lambaian tersebut, lantas mobil yang membawa sahabatanya tersebut mulai menjauh dari gerbang sekolah. Sisi baru saja mengecek waktu pada ponselnya ketika satu mobil lain menepi ke arahnya.

     "Oy, Tuan Putri! Buruan masuk, gua udah laper!" kaca jendela mobil pada samping kemudi langsung terbuka. Nino, adik laki-laki Sisi tampil di sana dengan sebuah seruan.

     "Ck! Apaan sih lo, Lay? Dateng-dateng main teriakin aja." Sisi menguak pintu mobil bagian penumpang dan memasukinya dengan wajah kesal. Mobil ayahnya ikut melaju menjauhi gerbang sekolah.

Little GirlfriendWhere stories live. Discover now