"Auuh!" Bunga merasa sesuatu terjadi pada perutnya.

Bunga terlihat bingung, perlahan dia mengelus perutnya kembali. Dan lagi-lagi sebuah gerakan terjadi dalam perutnya. Merasa khawatir dengan keadaan bayinya, Bunga bergegas kembali ke dalam gubuk. Dia membangunkan neneknya.

"Mbah tadi perut Bunga kayak ditendang dari dalam, apa bentar lagi Bunga mau ngelahirin Mbah?" simpulnya polos.

Dengan mata yang masih mengantuk Nenek Sharmi mengelus perut Bunga. Dan saat merasakan sebuah tendangan dari perut Bunga, Nenek Sharmi tersenyum lembut, mata ngantuknya berganti dengan binar kekaguman. "Bayimu mulai menendang, dia sudah bisa menendang." Katanya antusias

"Jadi apa Bunga mau ngelahirin?" tanyanya lagi.

Kini tangan Nenek Sharmi beralih mengelus pipi Bunga, dia menggeleng. "Sekarang masih belum, tapi waktunya makin dekat ndok."

"Terus kenapa dia menendang?" Bunga masih terlihat tak mengerti arti tendangan itu.

"Mungkin dia tahu Bunga sedang sedih jadi dia mau bilang 'tidak apa-apa ada aku di sini bu' pekek cara nendang. Bayimukan belum bisa ngomong ndok." Jelasnya.

"Begitukah?" kini Bunga tersenyum

Nenek Sharmi mengangguk. "Mulai sekarang ajak saja bayimu bicara pasti dia dengerin." Saran Nenek Sharmi membuat Bunga makin tersenyum sumringah.

Bunga langsung mengelus perutnya kembali. "Iya, ibu tau kamu ada di sini." Ucapnya semangat.

Nenek Sharmi kini menatap cucunya yang sedang sangat gembira. Sudut matanya mengeluarkan butiran bening karena haru. Dan dia tetap mengucap syukur dengan segala yang terjadi.

Setelah kejadian itu Bunga sering berbicara dengan perutnya, dia kadang menceritakan hal yang lucu atau mencurahkan segala keluh kesah dihatinya. Saat dia merasa sedih maka bayinya akan menedang-nendang. Saat dia senang bayinya serasa ikut tenang di dalam sana.

Seminggu yang lalu Dokter Ratih memeriksa kandungannya seperti biasa, saat itu Dokter Ratih membawa sebuah majalah. Bunga terlihat tertarik membaca majalah itu melihat hal itu Dokter Ratih memberi majalah itu padanya. Dan ketika Bunga membaca majalah hijab Bunga menanyakan pendapat anaknya tentang keinginannya memakai baju tertutup itu. Lalu betapa gembiranya Bunga saat anaknya merespon dengan menendang-nendang seakan setuju dengan pilihan ibunya itu.

Segera saat Nenek Sharmi ke kota untuk menjual hasil kerajinan tangannya, Bunga meminta untuk dibelikan baju yang tertutup itu. Walau tak sama persis Bunga tak keberatan yang penting tertutup pikirnya. Dia mengambil uang tabungannya dari hasil menyimpan uang pemberian Dokter Ratih setiap mengunjungi dirinya dan uang dari hasil membantu neneknya membuat kerajinan dari anyaman bambu.

"Alhamdulillah. Entar mbah pasti beliin. Kamu tutup pintu dan jangan keluar rumah sampai mbah teko yoh ndok.(datang yah nak.)" pesannya.

Bunga mengangguk. Lalu dia mencium punggung tangan renta Nenek Sharmi dan melaksanakan perintah tadi tepat setelah kepergiannya.

***

Sang waktu terus berjalan, kini kehidupan mereka berdua semakin hari semakin membaik. Mungkin warga desa belum benar-benar melupakan kejadian yang menimpa Bunga tapi setidaknya api yang dulu membara kini sudah mulai padam. Sudah hampir sembilan bulan lebih mereka bersembunyi. Masih teringat jelas dalam benak Nenek Sharmi bagaimana perlakuan warga terhadapnya dan Bunga. Bagaimana sulitnya Nenek Sharmi mencari uang untuk makan mereka. Warga desa bahkan tak ada lagi yang mau membeli kerajinan anyamannya, hingga dia harus berjalan jauh ke kota terdekat agar hasil anyamannya bisa laku. Karena cuma di kota dia bisa menjualnya tanpa harus dipandang hina.

Little MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang