Senyum dibibirnya kembali mengembang saat mata mungilnya menatap langit malam yang begitu indah. Dirinya tak sabar menunggu esok hari datang. Segala perlengkapan sekolahnya sudah siap semua. Sudah satu tahun lamanya dirinya harus bersabar melihat teman-temannya bersekolah. Esok, akhirnya dirinya bisa melanjutkan impian kecilnya. Pergi bersekolah dan belajar bersama teman-temannya.

Lamunannya membuat dirinya tak sadar telah sampai di warung Bi Fatimah. Wanita berusia empat puluh tahunan itu memberi Bunga senyuman yang sangat ramah.

"Cah ayu ..., malem-melem ngene(gini) kok kemari? Pasti mau beli obat buat Mbah Sharmi," tebak Bi Fatimah.

"Iya bi, obat koyok(seperti) biasanya." jawabnya seraya tersenyum.

Bi Fatimah mengangguk paham, ini memang bukan pertama kalinya Bunga membeli obat batuk tengah malam begini. Sudah hampir dua bulan ini kesehatan Neneknya memang tak baik. Tanpa menunggu Bunga mengucapkan merek obat batuknya, Bu Fatimah sudah cekatan mengambil obat batuk yang biasa Bunga beli di warungnya.

"Cah ayu pulangnya hati-hati yo, suwon ndok.(makasih nak)" Pesan Bi Fatimah setelah menerima uang obatnya.

"Enggeh, sami-sami (sama-sama)bu." Jawabnya seraya tersenyum manis seperti biasanya.

Setelah berpamitan kepada Bu Fatimah Bunga melangkah dengan tangan kanan yang menggenggam dua tablet obat untuk neneknya. Bulan purnama dengan taburan bintang di langit malam mampu mempesona mata siapapun yang melihatnya. Keindahan malam ciptaan Tuhan itu pun membuat setiap langkah Bunga terasa sangat menyenangkan. Bahkan kemisteriusan malam yang mencekam serasa sirna oleh keindahan perpaduan bintang-bintang dan bulan.

Senyuman terus terukir dibibir Bunga. Setidaknya keindahan malam ini sedikit menghibur hatinya yang sedih melihat neneknya yang sakit. Walau bersedih Bunga sejak kecil memang terbiasa tetap ceria. Namun dibalik segala keindahan malam, gadis kecil itu tak pernah tahu kalau ada hal yang tetap gelap didalamnya.

Prank!

Suara benda pecah-seperti kaca-membuat Bunga menoleh. Keningnya berkerut. Namun sebuah seringaian didalam cahaya remang bulan membuat dirinya bergidik ngeri. Sebuah tubuh yang menjulang tinggi nan tegap kini berdiri tepat dihadapannya, Bunga sadar itu sosok seorang laki-laki. Jarak keduanya tak sampai lima centi, dengan insting alaminya Bunga sadar akan ada hal bahaya yang sedang mengancam dirinya. Bibir mungilnya membuka untuk berteriak namun tangan besar laki-laki itu mencengkram bahunya menarik Bunga mendekat padanya dan laki-laki itu langsung membungkam bibir mungil Bunga dengan bibirnya . Tidak ada kelembutan dalam perbuatan bejadnya. Ada bau yang sangat tak enak merasuk dalam hidung mungilnya. Gadis itu tak tahu kalau lelaki itu berada dibawah pengaruh alkohol.

Obat yang digenggamnya pun jatuh. Bunga mencoba meronta namun tubuh dan tenaganya tak sebanding dengan lelaki besar itu. Air mata yang coba ditahannya perlahan keluar. Ketakutan begitu menyelimuti dirinya. Namun lelaki itu malah menyeret Bunga ke dalam semak-semak yang rimbun. Bunga terus mencoba melepaskan diri namun semakin tubuh mungilnya berontak maka semakin kuat pula lelaki itu menahannya.

Dan indahnya malam itu tak seindah jalan hidup gadis sekecil Bunga. Lelaki itu telah merebut hal berharga yang bahkan gadis sekecil itu belum mengerti bahwa mahkotanya telah hilang. Bunga hanya terus menangis hingga sesenggukan. Bagian bawahnya terasa perih, sakit. Namun lelaki bejat itu malah terkekeh melihat tubuh Bunga yang bergetar karena perbuatan hinanya. Bunga menunduk ketakutan dengan kedua tangan yang melingkari kedua lututnya yang ditekuk menempel pada dadanya.

Lelaki itu masih terkekeh begitu memuakkan. Detik selanjutnya tangan kasar lelaki itu memaksa Bunga mendongak dengan menyentuh dagu mungilnya. Dan sebuah seringaian itu terlihat jelas saat cahaya bulan menyorotnya. Bunga juga merekam seringaian memuakkan itu dalam benaknya. Kebencian serta ketakutan benar-benar membentuk sebuah trauma dalam dirinya.

Little MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang