BAB VI - Aluna

7.3K 483 2
                                    

Luna mematung, menatap kemesraan Sean dengan wanita cantik bergaun biru muda itu. Meski sudah beberapa hari mengenal Sean, baru kali ini Luna melihat senyum dosen barunya itu. Sekarang Luna hanya bisa menatap dari kejauhan, mencoba meredam gejolak hati yang mulai menggila. Matanya sedikit berkabut dengan bibir yang mulai bergetar. Luna ingin pergi saja dari sana, tetapi kakinya tiba-tiba kaku, sulit untuk melangkah.

Tubuh Luna seolah membeku ketika manik hijau itu balik menatapnya. Entah kenapa cairan bening itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari kedua matanya. Baru saja Luna hendak memberanikan diri melangkah ke arah Sean, pria itu justru pergi bersama wanita cantik bergaun biru itu. Luna meremas dadanya. Rasa sesak itu kembali datang.

"Kenapa harus sesakit ini?" gumam Luna lirih seraya menundukkan kepala, membiarkan air matanya jatuh begitu saja.

Sebuah pelukan tiba-tiba merengkuh tubuh mungil Luna. Gadis itu semakin keras terisak karena tahu siapa yang memeluknya dari harum Lilac Path yang khas.

"Sel-"

"Ssst, aku di sini. Menangislah hingga membuatmu lega." Selena yang baru datang tentu terkejut melihat Luna menangis seperti ini. Gadis yang biasanya tegar dan ceria, kini begitu rapuh. Ia sama sekali tidak peduli meski menjadi pusat perhatian di pelataran parkir kampus. Yang menjadi prioritasnya sekarang adalah berusaha membesarkan hati Luna.

Tubuh Luna semakin bergetar. Rasanya sudah lama sekali gadis itu tidak menangis seperti ini. Semua ini hanya karena seorang pria berhati dingin yang baru beberapa hari dikenalnya, Sean.

***

"Sekarang sudah mau cerita?"

Pertanyaan Selena hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Luna. Secangkir cokelat hangat nyatanya tidak berhasil menaikkan mood gadis mungil bersurai panjang itu. Tadi Selena memang sengaja menarik Luna ke kedai es krim dan cokelat langganan mereka yang letaknya tak jauh dari kampus.

Selena membuang napas lelahnya. "Aku tidak akan bertanya mengapa. Tapi, ingatlah kalau aku akan selalu ada untukmu."

Luna mengangkat wajahnya, menatap Selena yang duduk di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. "Apakah cinta begitu menyakitkan?"

Selena mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Luna. "Cinta?"

Luna mengangguk kemudian kembali membuang pandangannya pada jalanan yang lumayan ramai siang ini.

"Cinta memang menyakitkan. Seperti cinta Kak Dimas kepadamu. Cinta Ibu kepada Ayah. Cintaku kepada Rafa."

"Kenapa kembali menyebutkan nama orang itu?" Selena sangat tidak suka Luna kembali mengungkit masa lalu. Selena tidak bodoh. Tatapan mata Luna menyiratkan luka yang dalam. "Apakah ada yang mengganggumu?"

"Beberapa hari ini aku teringat tentangnya," ujar Luna sendu sembari mengusap gelang berantai bulan perak di tangannya.

"Come on, Luna. Kau harus melupakannya."

Luna tidak peduli dengan gerutuan dan protes dari Selena. Pikirannya melayang ke masa 11 tahun lalu.


"Aku Rafa."

Luna menatap anak laki-laki yang beberapa tahun lebih tua darinya itu. Meski ragu, ia mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan.

"Aku Luna, Kak."

Anak laki-laki itu tersenyum kepada Luna. "Panggil Rafa saja."

Pipi Luna tiba-tiba merona mendengar penuturan lembut dan senyum menawan Rafa. Untuk anak lelaki berusia 15 tahun, Rafa memang bisa dikatakan sangat tampan. Kulit putih dengan mata bulat berwarna kelam. Bentuk wajah tegas dengan dagu belah dua yang khas. Rambut yang berwarna hitam legam membuat wajahnya terlihat sangat putih cenderung pucat.

The Art of Love (The Adams' Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang