BAB I - Aluna

12.2K 697 4
                                    

Aluna mengaduk-aduk jus mangganya dengan malas sembari sesekali mendesah pelan. Setelah pernikahan Selena, Luna benar-benar sendiri sekarang. Selena memutuskan untuk cuti kuliah sementara waktu agar bisa fokus mengurus keluarga barunya.

Gadis itu masih tidak menyangka bahwa Selena lebih memilih pria yang dijodohkan sang ayah daripada cintanya. Luna mengira, hubungan Selena dan Dimas akan sampai ke pelaminan. Namun, takdir ternyata berkata lain. Menjalin hubungan bertahun-tahun memang tidak menjamin masa depan suatu hubungan.

Luna kembali mendesah pelan, mencoba kembali mencerna kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini. Ia merasa akhir-akhir ini semua peristiwa terjadi begitu cepat, bahkan sangat cepat baginya.

Luna memainkan gelang berantai bulan di tangannya, mengembuskan napas panjang, lalu segera beranjak dari tempatnya. Hari ini adalah hari pertama semester baru, mata kuliah baru, dosen baru, dan suasana baru. Ya, Luna harus segera membiasakan diri dengan semua ini. Sendiri bukan berarti kesepian, kan?

Terlalu larut dalam lamunan, Luna sampai tidak melihat ke depan dan akhirnya tanpa sengaja menubruk tubuh kukuh seseorang.

"Aduh!" Luna jatuh terduduk sambil meringis kesakitan. Entah kenapa, menabrak seseorang secara tak sengaja sudah menjadi kebiasaan bagi gadis itu. Ia memang sulit berkonsentrasi, apalagi saat jalan sendirian seperti ini.

Setelah berhasil menguasai diri, Luna melirik kaki jenjang yang kini berdiri tepat di depannya. Ia yakin bahwa orang itulah korban kecerobohannya. Luna menggigit bibir bawahnya, lantas berdiri untuk segera meminta maaf.

"Ma-maaf. Saya tidak sengaja," ucap Luna tergagap tanpa berani mengangkat wajahnya. Ia sudah pasrah jika orang di hadapannya ini akan membentak atau memukulnya. Akan tetapi, suara berat dan dalamlah yang justru Luna dengar hingga membuat bulu kuduk gadis itu meremang.

"Maaf adalah kata yang sangat mudah diucapkan."

Luna mengangkat wajah, memastikan siapa sebenarnya pria yang berdiri di hadapannya itu. Sepasang manik bulat berwarna biru, menatapnya tajam. Bibir tipis dengan sedikit rona merah jambu itu, membuatnya terbius. Wajah tegas dengan rahang keras, membuat kesan maskulin yang tak terbantahkan. Luna seperti melihat pahatan patung dewa Yunani yang terpajang di museum. Pria di hadapannya ini memang terlihat sangat sempurna, tanpa cela.

"Aku yakin kepalamu tidak terbentur atau semacamnya," ucap pria itu dingin ketika melihat gadis mungil di hadapannya terdiam.

Suara pria itu menyadarkan Luna dari khayalannya. Ia pun sedikit canggung, lantas memperhatikan sekeliling. Ternyata, ia sudah menjadi pusat perhatian.

"What's wrong with you?" tanya pria itu tak sabar.

"Ah ... itu ...." Lidah Luna benar-benar kelu.

"Sudahlah, lupakan saja," ujar pria itu sambil mengibaskan tangannya, kesal. Ia pun melangkah, meneruskan perjalanan, mengabaikan Luna yang masih mematung di tempatnya.

Luna segera berbalik, melihat punggung tegap yang perlahan menjauh itu. Jantungnya berdebar kencang. Ada sedikit perasaan aneh dalam dirinya, menjadikan tanya yang mungkin tak terjawab. Benarkah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

***

"Lima menit lagi, lo bakal diusir dari kelas," ujar Samara—teman sekelas Luna—seraya menunjukkan arlojinya. "Lo tahu sendiri kalau Bu Linda paling enggak suka ada yang telat, kan?"

"Gue enggak sengaja telat, kok." Luna berkilah. "Tadi hanya ada sedikit masalah."

"Lo nabrak orang lagi. Iya, kan?" Pertanyaan Samara hanya dibalas dengan cengiran oleh Luna. "Makanya, kalau jalan tuh pakai mata, bukan hidung."

"Jalan tuh pakai kaki, bukan mata."

Samara hanya menggelengkan kepala mendengar ocehan Luna. Temannya satu itu memang unik dengan kecerobohan level anak lima . Namun, justru itu yang membuat Luna menarik diajak berteman.

"Siapa korbanmu kali ini?" tanya Samara penuh selidik yang hanya dibalas oleh Luna dengan cengiran. "Jangan-jangan, Kak Ares dari itu?"

"Idih ... najis," jawab Luna cepat.

Samara mengerutkan dahi. "Kenapa benci banget sama Kak Ares, sih? Dia kan, salah satu cowok populer di kampus. Lo tuh sadar enggak, kalau the most wanted man di Fakultas Seni Rupa, bahkan di kampus ini ngejar-ngejar lo?"

Luna mengangkat kedua bahunya, tak acuh. "Bukan urusan gue."

"Ya, urusan lolah," jawab Samara kesal. "Dengar, ya, dengan lo yang sok jual mahal itu, membuat gadis-gadis lain menggila. Apalagi, kakak-kakak tingkat. Lo enggak takut jadi bahan bully-an mereka?"

Luna mengembuskan napas panjang. Ditatapnya wajah temannya itu dengan serius. Ia tahu jika Samara hanya terlalu mencemaskannya. "Dengar, ya, Samara Agustina Geraldine, tidak ada yang bisa membuat seorang Aluna Sagita Raihandoko takut. Jadi korban bully? Enggak akan terjadi."

"Terserah lo, deh." Samara akhirnya menyerah. "Yang penting, lo jangan sampai cari gara-gara. Bisa panjang urusannya."

Luna mengangguk, kemudian menyunggingkan senyum untuk membuat temannya itu lega.

"Tumben banget Bu Linda telat." Samara mengalihkan pembicaraan ketika melihat arlojinya. "Beliau izin atau gimana?"

"Sudah cuti kali," timpal Luna. "Lo kan tahu sendiri kalau Bu Linda hamil besar."

Samara manggut-manggut mendengar ucapan Luna. "Kira-kira, siapa yang gantiin, ya?"

"Pak Joko, mungkin."

Samara mendelik mendengar jawaban Luna. Gadis itu sudah membayangkan tampang seram Pak Joko dengan kumis lebatnya. "Yang bener, deh. Ogah banget gue."

"Mana gue tahu. Lihat saja sendiri. Bentar lagi juga datang, kan?" Luna menjawab asal, sudah hafal sikap Samara yang memang alergi dengan Pak Joko sejak dulu.

Suasana kelas yang tadinya tenang mendadak riuh. Luna bahkan harus menutup telinga ketika teriakan teman-temannya sudah mengganggu. Ia kemudian melirik Samara mencari jawaban, tetapi hanya gelengan kepala yang didapat.

Suara teriakan sudah mereda hingga membuat Luna berani menurunkan tangan. Arah pandangnya kini tertuju pada seorang pria yang berdiri di depan kelas. Luna menatapnya tanpa berkedip. Pria sempurna yang tadi tidak sengaja menjadi korban kecorobohannya, berdiri di sana dengan sejuta pesona yang berhasil membius sebagian besar kaum hawa di kelas.

"Perkenalkan, nama saya Sean William Adams yang akan menggantikan Bu Linda selama beliau cuti hamil."

Sungguh terberkati telinga Luna. Gadis itu lagi-lagi diizinkan mendengar suara dalam nan berat seperti tadi. Pria di depan kelas itu memang ditakdirkan untuk menghipnotis, seolah semua yang ada di tubuhnya sengaja diciptakan untuk membuat orang lain kehilangan akal.

"Luna, ini nyata, kan? Atau hanya mimpi? Kenapa bisa ada malaikat di kelas kita, sih?" tanya Samara bingung. Tampaknya, gadis itu juga terbius dengan pesona seorang Sean William Adams.

"Pertama, ini nyata dan sama sekali bukan mimpi. Kedua, gue ragu apakah memang ada malaikat setampan itu?" jawab Luna asal tanpa mengalihkan pandangannya.

Jantung Luna kembali berdebar kencang. Inikah yang dinamakan takdir? Jika diperbolehkan, Luna ingin berharap lebih. Pria itu sungguh membuatnya kehilangan akal sehat. Jika ia diizinkan untuk memiliki sekali lagi, tanpa ragu, gadis itu akan memekikkan nama Sean William Adams.

***





Yuk, terus ikuti kisahnya Sean dan Aluna. Versi revisi pasti berbeda dari sebelumnya.

Bakal ada kejutan menarik bagi pembaca setia loh. Tunggu saja ya...


Thanks for reading

Love you all

XOXO






The Art of Love (The Adams' Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang