BAB II - Sean

10.2K 627 5
                                    

Jam weker  mulai menggema, membangunkan Sean dari tidurnya. Pria bersurai hitam itu mengerjapkan matanya, menyesuaikan intesitas cahaya yang masuk melalui celah tirai apartemennya. Rasanya masih malas untuk bangkit dari peraduan. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan rasa kantuk masih sangat terasa karena waktu tidur yang berantakan. Akhir-akhir ini Sean memang susah tidur dan melampiaskannya dengan bekerja di studio pribadi.

Sean menghela napas panjang. Dering ponsel tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Pria itu segera meraih ponsel yang tergeletak di nakas. Senyum kecil mulai terkembang dari bibirnya ketika membaca nama yang tertera di layar. Tanpa ragu, Sean segera mengusap warna hijau di layar ponselnya.

"Halo," sapa Sean.

"Kau sudah bangun, kan?"

Sean tersenyum tipis mendengar suara lembut dari seberang sambungan. "Sudah, kakak iparku tersayang."

Terdengar helaan napas lega dari seberang telepon. "Syukurlah aku tidak mengganggu tidurmu."

Sean kembali tersenyum. Sejak dulu, Silla memang tidak pernah berubah. Wanita cantik yang kini menjadi istri kakaknya itu, memang selalu tidak ingin merepotkan orang lain. Ia akan menyelesaikan masalahnya sendiri, sangat jarang mengeluh, dan menitikkan air mata. Jika pagi ini wanita itu menelepon secara mendadak, Sean yakin ada sesuatu yang tidak bisa Silla selesaikan sendiri.

"Ada apa?" tanya Sean lembut seraya bangkit dari posisi berbaringnya, lantas duduk di tepi tempat tidur seraya melirik jam digital di nakas yang sudah menunjukkan pukul enam pagi.

"Bunda, Rey mau ngomong sama Paman Sean."

Sean mengerutkan dahi karena mendengar suara gadis kecil di seberang telepon. "Reyna?"

"Bentar, Sayang. Bunda masih ada perlu sama Uncle Sean."

Sean kembali menyunggingkan senyumnya ketika mendengar suara Silla yang berusaha memberi pengertian kepada putrinya. Ia tahu bahwa gadis itu pasti sudah merengek kepada seluruh anggota keluarga di rumah pagi-pagi begini.

"Maaf ya, Sean. Reyna lagi rewel, nih. Dari kemarin minta meneleponmu." Silla mencoba menjelaskan setelah berhasil membuat Reyna diam.

Sean kembali tersenyum. Entah kenapa, setiap mendengar suara Silla, bibirnya tak pernah lelah menyunggingkan senyum. Suara lembut itu seolah menjadi candu untuk membuatnya tenang. "Memangnya Rey kenapa?"

Terdengar helaan napas lelah dari seberang telepon. "Sejak kemarin Reyna merengek meminta bertemu denganmu. Kau tahu sendiri, kan? Jika permintaannya tidak dituruti, anak ini akan merajuk seharian."

Sean terkekeh mendengar keluhan Silla. "Berikan ponselnya kepada Reyna. Aku juga ingin bicara dengannya."

"Halo, Uncle." Suara kecil nan ceria kini mengambil alih hingga membuat senyum Sean semakin lebar.

"Halo, my little princess."

"Kapan Uncle ke rumah Rey? Rey kangen."

Terdengar suara lemah dari seberang telepon. Sean yang mendengarnya pun hanya bisa mendesah pelan. "Maaf ya, Sayang. Uncle sedang sibuk akhir-akhir ini, jadi tidak sempat mampir ke sana."

"Tapi Rey kangen."

Suara parau Reyna berubah menjadi isakan yang membuat hati Sean merasa bersalah. Belum juga Sean membalas ucapan Reyna, sebuah suara berat dan dalam tiba-tiba terdengar dari seberang telepon.

The Art of Love (The Adams' Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang