Seruni tertunduk lesuh. Kali ini ia tidak benar-benar menunduk menatap ke arah lantai yang yang dilapisi oleh karpet beludru berwarna biru itu. Tetapi ia menatap perutnya yang sedikit demi sedikit sudah mulai membesar diusianya yang sudah ke lima bulan ini.

"Runi takut, Teh," ucap Seruni sedih. "Runi takut kalo bapak melihat keadaan Runi seperti sekarang ini, bapak akan tambah sakit, Teh" aku Seruni.

Joan mengelus bahu Seruni sedih. Ia dapat merasakan kebimbangan yang Seruni rasakan. Bagaimanapun, keadaan di kampung berbeda dengan di kota. Tidak akan mudah menerima fakta bahwa 'anak kemarin sore' yang baru dilepas ke Jakarta pulang-pulang sudah berbadan dua. Ditambah lagi, tanpa ada bapaknya. Memang ini adalah sebuah kenyataan, tapi siapa yang mau mengerti?

Fakta itu akan cepat menyebar ke seluruh penjuru kampung. Namun, bukan itu saja yang menganggu pikiran Joan, yang membuatnya seakan meraskan kebimbangan Seruni adalah bagaimana reaksi kedua orangtua Seruni nanti. Ditambah lagi, omongan pedas para tetangga yang sudah siap menyapa mereka disana.

Joan menghela nafas, ia berusaha tenang dan berusaha tidak terpengaruh oleh kebimbangan dan kegelisahan Seruni, walaupun dalam hatinya sendiri ia pun sedikit meraung tak tau harus melakukan apa untuk membantu Seruni.

"Seruni, bukannya ini pilihan kamu?" tanya Joan halus. Matanya menatap rambut Seruni yang hitam mengkilat itu. Seruni masih tertunduk, menatap lantai yang dilapisi karpet beludru itu. "Kamu yang memilih untuk mempertahankan bayi itu, lalu mau sampai kapan kamu menutupinya dari Ibu dan Bapakmu?" tanya Joan. "Pada akhirnya, cepat atau lambat, sengaja atau tidak disengaja, mereka akan dan harus tau bagaimana keadaanmu"

Seruni mendesah berat. Ia tau, cepat atau lambat kedua orangtunya di kampung sana pasti akan tau. Ia pun mengerti, bahwa tidak seharusnya keberadaan anak ini dirahasiakan. Anak adalah anugrah, bukan?

"Iya, teh," Seruni mengangguk mengerti.

"Kamu ngga perlu takut, nanti Teteh bakal bantuin jelasin ke Ibu dan Bapak, mudah-mudahan mereka mau mengerti keadaan kamu, ya" ucap Joan begitu tenang.

Seruni mengangguk sambil tersenyum. Ada kelegaan sedikit yang menyapa hatinya.

Joan ikut-ikutan tersenyum, walau dalam hati ia masih memikirkan apa yang harus ia lakukan? Bagaimana cara dia untuk menjelaskan kepada orangtua Seruni? Dan masih banyak lagi hal-hal yang menganggu pikiran Joan saat ini.

"Oh iya," Joan berusaha mencairkan suasana yang keburu melow ini. "Ini ada titipan makan siang dari Pak Leo, orangtuanya akan datang sehabis makan siang nanti" ucap Joan sambil menyerahkan bungkusan makanan yang di atasnya terdapat cap restoran terkenal di ibu kota ini yang Seruni tidak tau.

Seruni menerima bungkusan makanan itu, lalu tersenyum. "Makasih, Teh," ucapnya tulus. "Teteh belom makan siang, kan? Mau makan bareng Seruni?" tawar Seruni.

Joan menggeleng halus. "Ngga usah, justri jam makan siang gini kerjaan aku malah lagi numpuk-numpuknya. Lagipula nanti aku juga dapet makan siang dari kantor, kok"

Seruni hanya mendengarkan dan mengangguk mengerti.

"Semangat ya, Teh, kerjanya"

***

Leo senantiasa berdiri di balik pintu ruang pantry yang tertutup itu. Ia mendengar percakapan antara Joan dan Seruni. Ia mendapatkan informasi tentang orangtua Seruni yang sakit, dan Seruni yang harus kembali ke kampungnya. Leo segera memberi kabar kepada orangtuanya lewat telpon, ia mengatakan kalau ada kesempatan untuk orangtuanya menyelidiki siapa Seruni sebenarnya. maksudnya, feeling kedua orangtua Leo, ditambah Leo sendiri mengatakan pada dirinya sendiri kalau Seruni adalah anggota keluarga mereka yang hilang 18 tahun yang lalu.

TRS [1] : Night Accident ✅Where stories live. Discover now