"Kamu bisa ke sana kapan pun kamu menginginkannya, Paris. Namun ada satu hal yang harus aku lakukan terlebih dahulu dan setiap kali membahas ini, kamu terlihat tidak serius. Jadi aku akan kembali bertanya: Kamu ingin aku melakukan apa terhadapnya? All you have to do is tell me and it will happen the way you want it to be."

Aku menghela napas panjang sebelum menatap Enzo. Dia memberiku tatapan serius, yang berarti, aku harus menjawab pertanyaannya.

"Aku tidak ingin kamu celaka."

Tawa Enzo kembali mengisi kamar suite yang disewanya sebagai salah satu cara untuk memanjakanku. Aku hanya peduli pada Enzo, sekalipun kami ada di motel dengan atap bocor atau cat tembok yang mengelupas. Semua kemewahan yang ditawarkannya tidak berarti apa pun jika dia tidak bersamaku.

"Amore mio, tidak akan terjadi apa-apa denganku. Kamu sedang bersama Enzo Ferdinandi. Satu-satunya hal terburuk yang bisa terjadi kepadaku hanyalah terpeleset di kamar mandi. Kamu tahu, bukan pertama kali ini aku melakukannya. Kamu tidak perlu khawatir."

Jika ada yang bilang bahwa cinta tidak harus memiliki, mereka mungkin harus berada dalam posisiku terlebih dahulu. Menginginkan Enzo ada di sampingku sementara ada pria lain yang memperlakukanku seperti mainan, adalah satu hal yang mengganjal di antara aku dan Enzo. Luca memang menganggapku seperti sebuah properti yang bisa diperlihatkannya sebagai pasangan, tetapi diabaikannya begitu dia tidak membutuhkan. Enzo memperlakukanku sebagai manusia yang diinginkan dan diperhatikan. Pria mana pun akan memilih Enzo daripada Luca.

"Begitu susah mencari celah di mana kamu bisa ...."

"Menyingkirkannya?"

Aku menganggukkan kepala pelan.

Enzo meletakkan telunjuknya di bibirku untuk meredakan apa yang ada pikiranku. Sebuah senyuman kembali terpasang di wajahnya.

"Kamu bahkan tidak akan tahu, seberapa cepat aku bisa melakukannya, Paris. Kamu ingin aku melakukannya dengan tanganku sendiri? You just need to ask. Kamu ingin orang lain melakukannya? Just let me know. Kamu ingin membuatnya terlihat seperti sebuah kecelakaan? I have the best people with me, Paris. All you have to do is one simple thing: ask."

Kami saling bertatapan dalam diam sebelum akhirnya aku mengangguk. "I just ...."

"Dia satu-satunya yang membuat kita tidak bisa bersama, Paris. Pikirkan itu. Betapa kamu membencinya dan berharap kamu bisa menyingkirkannya atas semua yang telah dilakukannya kepadamu. Well, now you have me. I'm the one to ask."

"Then I'm a murderer."

"Amore mio ...." Enzo meraihku dan membiarkan dadanya menjadi satu-satunya sandaranku. "Tidak akan ada yang berani menyentuh kamu selama aku masih ada di sini. Tidak akan ada yang menyebut kamu dengan kata itu. Tidak akan ada polisi atau penjara. Mereka tidak akan peduli jika dia tidak ada. Kamu hanya ingin membebaskan diri darinya. Itu sesuatu yang wajar. Aku berharap ada cara lain, tapi yang terbaik adalah menyingkirkannya selamanya. Kamu tahu, betapa inginnya aku bersamamu setiap hari."

Aku mengangguk pelan.

"Kita hanya dua orang yang saling mencintai yang ingin saling memiliki. And I have power to make you mine completely."

Kalimat terakhirnya membuatku merinding. Aku tahu apa yang dilakukan Enzo sejak pertemuan ketiga kami. Menghabisi nyawa orang bukanlah sesuatu yang baru untuknya. "Aku sudah melakukannya sejak berumur 23, Paris" ucapnya ketika itu. Di usianya yang ke-33, aku tidak berani bertanya berapa nyawa yang sudah diambilnya dengan paksa. Anehnya, tidak ada ketakutan dalam diriku karena tahu, Enzo tidak akan pernah mencelakaiku.

THE SHADES OF RAINBOWUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum