Zeon's Case : Men In Pink I

1.2K 92 5
                                    

Kalau aku ditawari oleh salah satu penerbit terkenal di dunia untuk menerbitkan kisah petualangan Zeon ke dalam sebuah novel, maka aku akan memilih kasus ini sebagai pilihan utamaku. Kenapa? Jujur bukan karena misteri yang menarik, namun lebih karena kasus ini melibatkan unsur-unsur romantisme dalam pribadi Zeon sendiri. Kasus ini kupilih sebelum aku menceritakan kasus terbesar dan terberat Zeon yang akan melibatkan Mr.G dan Joel Deniel, serta masa lalu Zeon yang kelam.

                                                *          *          *

Untuk ketiga kalinya ditahun ini, agensi detektif kami pindah tempat. Pertama di Ancol, kedua  kami pindah di dekat bandara, dan terakhir ini kami pindah ke daerah Melawai, Blok M. Jakarta Selatan.

Alasan agensi kami pindah tempat pertama kali itu dikarenakan daerah Ancol itu terlalu dekat dengan laut. Menurut Zeon, gara-gara kami tinggal di sana, tiap harinya Zeon merasa dadanya sesak karena menghirup bau garam. Entah dari mana ia mendapatkan pikiran seperti itu? Padahal jarak agensi kami dengan laut itu cukup jauh juga kok.

Alasan agensi kami pindah tempat kedua kalinya adalah karena Zeon pernah ingin menjadi pilo, untuk itu, ia memilih tinggal di dekat bandara Soekarno Hatta. Katanya, kalau terus mendengar suara pesawat, Zeon mempunyai kepuasan tersendiri. Aneh. Menurutku malah berisik.

Dan kali ini, kami pindah di Blok M dengan alasan yang tidak bisa kuterima, tetapi lagi-lagi aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Alasannya adalah menurut Zeon huruf M pada Blok M itu inisial dari Misteri. Kesimpulannya Blok M adalah Blok Misteri. Benar-benar detektif yang aneh.

“Kau benar-benar tidak mau menerima klien hari ini?” tanyaku pada Zeon yang sedang mengunting kuku kakinya. Ia suka sekali pedi dan medi seperti perempuan.

“Aku rasa kita tutup saja beberapa hari kedepan.”

“Kenapa?”

“Aku mau refreshing. Aku mau jalan-jalan.”

“Mau kemana?”

“Jalan-jalan.”

“Iya,” sahutku, “jalan-jalan ke mana?”

“Memang jalan-jalan perlu ke mana?”

“Ya tentu saja. Misalnya pergi jalan-jalan…Emm… Ke Bali.”

“Aku tidak mau ke Bali.”

“Misalnya.Aku bilang misalnya.”

“Aku tidak suka kau memisalkan segala sesuatu yang tidak aku sukai.”

“Baiklah,” kataku tidak sabaran, “misalnya ke Pantai.”

“Bau garam. Tidak mau.”

“Oke...” kataku mencoba bersabar lagi, “kau yang menentukan kalau begitu!”

“Ke Museum?”

“Itu bukan jalan-jalan. Itu Study Tour.”

“Perpustakaan.”

“Sama saja. Itu bukan jalan-jalan.”

“Lalu jalan-jalan itu menurutmu ke mana?”

“Ya...” kataku, “misalnya ke mall atau jalan-jalan ke puncak?”

“Membosankan. Sangat membosankan.”

Aku rasa kau yang membosankan, Zeon.

“Ding...Dong...”

My Name Is ZeonWhere stories live. Discover now