Prolog

1.1K 66 6
                                    

September 2019

Sira, seorang perempuan yang sedang berjuang mendapatkan gelar sarjana dengan predikat pujian, turun dari mobil angkutan umum dengan wajah ditekuk. Ada gerombolan anak laki-laki berseragam SMP yang asik menggodanya sejak ia mendudukkan diri di angkutan umum itu. Dia kesal bukan main. Sebab dia merasa jika umurnya sudah tidak pantas untuk diperlakukan seperti itu. Masanya sudah habis, pikir Sira. Gadis itu berjalan menuju tempat tujuannya dengan perasaan jengkel. Seandainya saja motornya tidak rusak, dia tidak akan mengalami hal ini.

Langkah kaki gadis itu terasa berat. Terkadang terhenti ketika tempat tujuannya sudah di depan mata. Ada keraguan yang menyeruak tiba-tiba. Dia berperang melawan logika untuk meyakinkan diri atas keputusan setelah pertemuan ini. Semoga keputusan yang akan diambilnya nanti merupakan keputusan terbaik untuk hal baik ke depannya.

Pohon beringin menghiasi jalan setapak yang dilalui Sira. Setiap satu pohon dengan pohon lainnya berjarak sekitar lima meter. Seolah telah diatur sejak pohon itu ditanam. Daun-daun yang gugur, menghiasi rerumputan dan jalan setapak. Angin berembus pelan, menari-nari di sekitar wajah. Menimbulkan kesan yang mendalam.

Suara tawa anak-anak yang sedang bermain, mendominasi suara yang masuk ke indera pendengaran Sira. Sebagian dari anak-anak itu bermain wahana permainan yang telah disediakan. Ada yang berlarian tak tentu arah, mengganggu temannya, serta menangis karena tidak kebagian wahana permainan. Ada juga yang hanya duduk diam di antara kedua orang tuanya. Entah dilarang bermain atau tidak mempunyai hasrat untuk bermain. Hanya dia dan Tuhan yang tahu alasannya.

Mulai dari balita hingga lanjut usia, datang berkunjung ke taman ini. Tempat yang bisa meneduhkan perasaan siapa pun. Bangku-bangku berwarna putih yang berukuran sama, menyebar di seluruh penjuru mata angin. Bangku-bangku itu disusun sedemikian rupa. Mereka yang tidak mendapatkan bangku, memilih duduk di rerumputan dengan beralas tikar.

Setiap hari bangku itu diduduki oleh orang yang berbeda. Silih berganti. Sama seperti mereka yang datang dan pergi di kehidupan seseorang. Tidak menetap.
Langkah Sira terhenti. Kali ini benar-benar terhenti. Namun, bukan karena keraguannya. Ia telah sampai di tempat tujuan dengan kursi yang masih kosong. Padahal dia sengaja datang terlambat 15 menit dari waktu janjian. Sira ingin orang yang diajaknya bertemu itu sudah datang duluan dan menyambutnya dengan hangat.

Sira duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Alasannya hanya satu. Dia tidak ingin membuat teman janjiannya kesusahan mencari. Sira begitu perhatian. Sedangkan lelaki yang ditunggunya tidak pedulian.

Sira tahu, orang yang ditunggunya tidak akan datang. Tidak akan pernah. Namun, Sira tetap menunggu, sebodoh-bodohnya orang bodoh. Sira pikir lelaki itu akan sedikit mencair setelah apa yang ia lakukan selama ini. Ternyata, lelaki itu semakin membeku setiap harinya.

Lelaki itu sangat sibuk. Sira memakluminya. Entah sibuk benaran atau sengaja menyibukkan diri setiap kali diajak bertemu. Sira meluluhlantakkan ego hanya untuk memperbaiki sesuatu yang terjadi antara dia dan lelaki itu. Dia bertahan hingga kini, karena masih berharap jika suatu hari nanti lelaki itu bisa melihatnya secara nyata. Bukannya berpaling dan bersikap seolah tidak mengenal Sira.

Sira merangkai kata yang tepat untuk mengawali pertemuan mereka setelah banyak drama yang dilalui. Semua tentang lelaki itu adalah kekhawatiran yang tidak kunjung reda. Arloji yang melingkari lengan Sira telah menunjukkan pukul lima sore. Itu berarti sudah satu jam dia menunggu. Lelaki itu selalu seperti ini. Terlambat, sangat terlambat, hingga berujung dengan ketidakhadirannya.

Rentetan waktu hingga perjalanan panjang yang Sira dan lelaki itu lewati tanpa 'kita', membawa perubahan yang sangat terlihat jelas. Banyak yang mengatakan jika 'waktu mampu mengubah seseorang'. Sira mengakui kalimat itu setelah menyaksikan seseorang yang berarti dalam hidupnya berubah dalam hitungan tahun. Mereka dikalahkan oleh waktu. Dilumat habis oleh jarak yang tertaut.

Sira berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Apa yang telah mengubah lelaki itu. Kejadian apa yang telah membuatnya menjadi orang yang berbeda. Jawaban yang Sira dapat adalah kekosongan. Dia tidak berhasil mengungkap alasan dari perubahan lelaki itu.

Sira membolak-balik sebuah buku yang baru saja dikeluarkannya dari tas selempang. Buku itu menyimpan ribuan kata yang tak mampu diucapkannya secara langsung kepada lelaki itu. Buku yang menyimpan banyak cerita tentang mereka. Buku yang seharusnya sudah berada di genggaman lelaki itu sejak beberapa tahun yang lalu.

Sira menatap buku bersampul biru tua itu dengan pandangan yang mulai buram, sebab mata mulai memanas. Genggamannya pada buku itu semakin erat; mengingat senja yang akan muncul beberapa waktu lagi. Waktunya untuk bertemu dengan orang yang ditunggunya semakin tipis. Matahari tenggelam adalah batas waktu penantiannya.

Sesuatu yang tertahan sejak tadi berteriak, memohon untuk dilepas. Sesak. Rasa itu meminta untuk diselesaikan.

Lelaki itu tidak akan datang; seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Sulit sekali mengajaknya bertemu. Sekalinya bertemu, Sira kesulitan berbicara. Tiap kali memandang wajah lelaki itu, bibirnya kelu. Tak mampu bersuara.

"Sampai kapan kamu akan menunggu dia?"

Sira terlonjak kaget mendengar suara seseorang dari belakang. Dia mengelus dada beberapa kali, lalu menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang telah membuatnya hampir mati duduk. Dan Sira kembali terkejut.

Nicky tertawa, menyaksikan Sira terkejut untuk kedua kalinya. Seingat Sira, dia tidak memberi tahu Nicky mengenai janji temunya dengan seorang teman. Ya, teman masa kecil Sira. Orang yang hampir setiap hari bersama Sira. Kapan dan di mana pun. Hari-hari Sira selalu ditemani temannya itu. Lelaki yang sejak tadi ditunggu Sira.

Tubuh tinggi Nicky membuat Sira mendongak ketika berbicara. "Kamu kenapa ada di sini?"

Nicky berhenti tertawa. Matanya yang dilindungi oleh kacamata menatap Sira dengan sendu. "Aku bukan orang yang kamu harapkan, ya?" ujarnya dengan senyuman tipis.

"Nick, kamu tahu kalau–"

"Aku hanya bercanda." Nicky tertawa singkat. Dia duduk di sebelah Sira.

"Bagaimana keadaan di rumah sakit?" Sira bertanya hal yang sama setiap hari. Baik bertemu langsung maupun lewat telepon pintar. Dia selalu penasaran dengan kegiatan Nicky di rumah sakit. Maklum saja. Dia pernah bercita-cita menjadi dokter. Namun, saat SMP cita-citanya berubah menjadi guru.

"Masih sama seperti kemarin. Ada yang pulang, ada yang datang. Hiruk-pikuknya pun masih sama. Wajah lesu pasien, letihnya keluarga pasien, serta keseriusan dokter saat sedang bertugas; masih menjadi objek utama di rumah sakit."

Sira tersenyum lebar. "Kapan-kapan bawa aku ke sana," ujarnya dengan semangat.

"Aku masih magang. Tidak ada ruangan khusus untuk dokter magang. Nanti kamu kesusahan di sana."

Sira menekuk wajah. Tidak terima dianggap manja oleh Nicky. "Aku bisa duduk di mana saja. Di parkiran, ruang tunggu, atau lesehan di lantai." Sifat keras kepala Sira kembali keluar.

"Kamu sudah lama di sini?" Nicky berusaha mengalihkan percakapan.

"Ya, sekitar satu jam."

"Dia tidak akan datang, kamu tahu itu."

"Aku sudah berjanji ini yang terakhir, tetapi dia tetap tidak datang. Aku salah apa, Nick?"

"Kamu tidak salah. Aku yang salah."

"Tidak lucu, Nick." Sira memukul lengan Nicky dengan muka memberengut.

"Aku serius. Aku yang salah. Seharusnya aku tidak membiarkan kamu bertemu dia, menunggu lagi. Dia tidak akan datang. Dia akan selalu mempunyai alasan,
menolak untuk datang." Terkadang Sira sungguh keras kepala tentang sesuatu. Terutama tentang bertahan, meski harus tersakiti. Dia tetap bertahan demi sebuah jawaban. Jawaban atas perubahan sikap Lannov.

"Aku mau memberikan ini. Setelah itu aku tidak akan mengganggu dia lagi. Aku janji, Nick." Benar. Sira berkata jujur. Setelah hari ini, dia tidak akan mengusik hidup Lannov lagi. Bahkan dia akan berhenti memusingkan perihal Lannov.

"Sira, jangan menyiksa diri kamu lebih lama. Sudah cukup banyak waktu yang kamu buang untuk dia." Akhirnya Nicky mengutarakan unek-uneknya selama ini. Nicky bukannya lelah mendengarkan tangisan Sira mengenai sikap Lannov, tetapi dia tidak ingin melihat Sira terus-terusan bersedih.

"Aku tidak bisa berhenti peduli, Nick. Aku ingin bertemu dia. Aku ingin tahu apa yang membuatnya menjauhiku. Aku tidak bisa berhenti untuk memikirkan itu."

"Aku tidak meminta kamu untuk berhenti peduli. Semua yang kamu rasakan, aku juga merasakannya. Aku hanya ingin kamu berhenti menganggap ini sebagai rasa sakit."

Rasanya sedih sekali saat orang yang kamu pedulikan justru melakukan hal yang sebaliknya terhadapmu. Sira tidak tahu apa yang salah. Dia pun tidak tahu apa yang harus diluruskan. Karena tidak tahu bagian mana yang kusut.

Sira sudah lelah dengan teka-teki yang Lannov berikan. Inikah saatnya untuk menghentikan teka-teki rumit ini? Namun, Sira ragu untuk berhenti.

"Bagaimana jika hari ini kamu menceritakan isi buku itu?" ucap Nicky.

"Kurasa akan menghabiskan waktu yang lama."

"Aku siap mendengarkannya hingga hari berganti."

"Sekalian saja kamu bawa buku ini tidur bersamamu. Siapa tahu isi dari buku ini masuk ke alam mimpimu."

Tepat saat matahari pulang ke peraduannya; Nicky membawa Sira pergi. Sira menatap Nicky dengan senyuman kecil. Lelaki di sampingnya ini selalu tahu kapan Sira membutuhkan sandaran. Dia selalu mengerti saat Sira membutuhkan pendengar.

Sira berbisik di dalam hati, "Terima kasih telah melengkapi setiap celah diriku. Terima kasih telah menjadi penguatku. Terima kasih telah menjadi orang yang sederhana, tetapi luar biasa. Selamat datang di duniaku, Nick. Dunia sebelum ada kamu. Selamat datang di duniaku yang hanya ada Lannov di dalamnya. Jauh sebelum waktu menemukan kita. Selamat menikmati potongan kenangan yang kutulis di tiap lembar buku ini."

Cerita ini tentang Lannov, bukan Nicky. Namun, cerita ini tidak akan utuh tanpa Nicky.

***

Btw, ini tetap cerita yang lama. Cuma aku obrak-abrik hehe. Semoga kalian menyukai versi baru ini, ya.

Waktu Tak Pernah SalahWhere stories live. Discover now