"Fish and chips dan jasmine tea."

Pelayan itu pun pergi ke dapur setelah mencatat pesanan kami. Lalu aku menoleh lagi kepada Liam.

Sejujurnya, aku penasaran kenapa dia niat sekali mencari hotel tempatku dan Beth menginap, lalu pagi buta sudah menyuruh manajer hotel untuk menelepon ke kamarku dan mengatakan "seorang tamu ingin menemuimu". Bahkan manajer hotel itu tidak menyebutkan namanya. Karena penasaran, setelah mandi aku segera turun dan mendapati Liam yang menunggu di lobby. Ia mengajakku sarapan bersama di cafe depan hotel.

"Dimana ... Gadis kemarin? Aku lupa namanya," ucap Liam. Ia menyenderkan punggungnya ke kursi lalu menatapku.

"Sepupuku, Beth. Dia masih tidur," aku menyahut singkat. "Jadi, kenapa kau ingin menemuiku?"

"Kita tidak sempat berbicara lebih banyak tentang Zayn kemarin. Juga tentang sepupumu yang melihat kejadian itu," kata Liam tenang. Ia tersenyum sekilas kepada pelayan yang mengantarkan minuman kami. "Tapi, Beth masih tidur. Apakah dia baik-baik saja?"

"Dia agak syok. Dan khawatir," sampai menangis. Apakah aku harus mengatakan bagian itu kepadanya juga? "Wajar, bukan? Dia sangat menc—maksudku menyukai kalian."

"Ohh," Liam tersenyum. Ia seperti tengah membayangkan sesuatu. Mungkin saja fans-nya? Kudengar dari Beth, boyband ini sangat menghargai fansnya. Ia yakin kalau mereka mencintai fansnya. Dan itulah alasan kenapa dia single sampai sekarang. "Kalau boleh tahu, kenapa kau kemari? Konser?"

Aku menggeleng. "Belum sejauh itu. Ini masih tahap awal. Bahkan albumku masih dalam proses," kataku pelan.

"Setidaknya kau bisa mengirimkanku pesan jika mau pergi."

Aku menoleh. Beth berdiri di samping meja kami dengan tangan bersedekap dan ekspresi di wajahnya tampak tak senang.

"Kau tidur begitu lelap. Aku jadi tak tega," ujarku sambil tersenyum lebar.

"Beth, duduklah," Liam berdiri dan menarik kursi untuk Beth. Bisa kulihat wajahnya merona dan Ia tampak menahan kegirangannya. Itu lebih baik dari pada Ia menjerit saat ini juga. Karena kalau itu terjadi, aku akan pulang ke Edmond dan meninggalkannya di sini.

Dengan kaku, Beth duduk di kursi tersebut. Saat Liam sedang mendorong kursinya, ia menatapku dengan mata membelalak dan tangan yang menutupi mulutnya. Aku tahu Ia sedang menahan jeritannya. Untung saja Ia tidak terlambat melakukannya.

"Jadi ..." Liam duduk di sebelah Beth. Ia menatap sepupuku itu yang tampak kaku. "Hei, tenang saja. Tak perlu tegang."

Beth cengengesan. Ia menggaruk pipinya dengan malu, "a-akan kucoba. Aku hanya terlalu gugup! Aku pertama kalinya bertemu denganmu. Sarapan bersama pula," ujar Beth malu-malu. Aku memutar bola mataku melihatnya. Dia sedang menjaga image-nya. Coba saja kalau tidak.

"Boleh aku tahu kenapa kalian kemari?" tanya Liam. "Greyson bilang, bukan urusan musik."

Aku dan Beth bertatapan. Ia seperti meminta persetujuanku untuk menceritakan masalah yang kami alami. Tapi, aku sebenarnya tak terlalu keberatan jika Ia menceritakannya kepada Liam. Jadi aku hanya menatap Beth, dan akhirnya Ia menoleh dan berbicara kepadanya, "kami mencari sahabat kami."

"Apa?" Liam mendelik terkejut. "Dia diculik?"

"Tidak. Dia kabur. Dia pergi kemari menggunakan tiket pesawat teman kami," aku menjawab pertanyaan Liam karena Beth kini membisu.

"Kalian teman yang baik. Sungguh," puji Liam sambil tersenyum. "Dia ... Directioner?"

"Ya. Namanya Aimee," Beth mengangguk. Dia menatapku dan Liam secara bergiliran, "kami menduga dia kemari untuk bertemu kalian."

OBSESSIONNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ