"I love these boys more than anything. But the sad thing is, they loved me like they loved everyone else."

***

Aimee memandangi fotonya bersama Beth dan Olivia yang tertempel di dinding kamarnya. Dengan gerakan yang begitu lesu, Ia meletakkan tas selempangnya di atas lantai dan duduk di kursi meja belajarnya. Ia lalu meraih ponselnya dan melihat tanggal yang tertera di lockscreen.

Tanggal 5 April. Sudah lewat 8 hari sejak meninggalnya Olivia. Keadaan di antara dirinya dan Beth tidak ada yang berubah. Mereka masih sering pergi dan pulang sekolah bersama, juga mengerjakan tugas di perpustakaan. Terkadang mereka meminta bantuan kepada Greyson yang memang ahlinya di pelajaran Matematika. Lelaki itu pun tanpa perlu diminta selalu menjemput mereka di sekolah. 

"AIMEE!!"

Ia masih melamun.

"Astaga! AIMEE PARKER!"

Dan teriakan kedua, ia sepenuhnya sadar. Dengan panik, Aimee berlari tunggang langgang menuju lantai bawah. Ia menahan takut saat menyaksikan Ibunya berdiri di seberang tangga. Tampak galak dan menyeramkan. Diam-diam Ia berharap kalau Ibunya tidak memukulinya lagi.

"Kau ini selalu saja di kamar! Berhentilah menjadi orang aneh dan buang semua hal tentang boyband itu, kau dengar?"

Aimee nyaris tersedak karena mendengar ucapan Ibunya. Ia menatap Nicole nanar, tapi, dia tidak berani melawan. Bagaimana pun, Nicole adalah Ibunya. Sekejam apapun wanita itu. "Ma-maafkan aku, Ibu ..."

"Berisik. Ada tamu untukmu di depan, lalu segera buatkan makan malam. Teman-temanku akan kesini nanti."

Aimee menahan diri untuk tidak mengamuk. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju pintu depan dan membukanya. Ia terlonjak kaget karena mendapati Claire, yang tak lain adalah Ibu Olivia, berdiri di depan pintu rumahnya. Sebelum wanita itu menyapanya, Aimee sudah memeluknya duluan.

Selama satu menit pertama tidak ada yang bersuara. Saat Aimee mendengar isakan Bibi Claire, Ia pun memperat pelukannya. Ia ingin sekali menghibur Claire, tapi bagaimana caranya jika dirinya sendiri pun belum sepenuhnya move on dari meninggalnya Olivia?

"Aku turut berduka cita."

Hanya itu yang mampu Ia katakan. Bahkan mungkin, Ia mengatakan itu pun untuk dirinya sendiri.

"Ooh, Nak," wanita yang seusia dengan Nicole itu mengusap rambut Aimee. Lalu Ia melepas pelukan gadis itu, menatap Aimee dengan lembut. "Seharusnya aku yang mengatakan itu."

Aimee tersenyum kecut. Ia mengusap air matanya yang terus menetes setiap menatap Bibi Claire. "Apakah Bibi mau masuk?"

"Tidak, Sayang. Tak perlu. Aku ingin memberikanmu sesuatu."

Aimee memerhatikan Bibi Claire yang mengeluarkan sebuah dompet berukuran agak besar dari tasnya, lalu memberikannya padanya. Hanya sekali menatapnya, Aimee tahu dompet itu milik siapa. Yaitu Olivia. Dompet bermotif polkadot berwarna merah dan hitam. Olivia selalu menyimpan benda berharga (sebagian besar adalah rahasia-rahasia miliknya) di dompet tersebut.

"Bi, ini milik Olivia," ucap Aimee bingung. "Kenapa Bibi memberikannya padaku?"

"Olivia ingin kau memilikinya. Percayalah. Maaf aku baru memberikannya sekarang. Aku sibuk mengurus pemakaman Olivia."

Aimee mengusap dompet tebal tersebut. Ia penasaran dengan isinya.

"Aku pulang dulu, ya? Kalau kau butuh pertolongan atau apapun itu, hubungi saja aku. Selamat malam, Manis."

"Hati-hati, Bi!"

Bibi Claire masuk ke mobilnya. Dan Aimee masih berdiri di depan pintu rumahnya sampai mobil Toyota itu lenyap dari pandangannya. Ia kembali masuk ke dalam rumah, memeluk dompet itu erat. Namun, seketika Ia heran karena suasana rumah mendadak sepi. Kemana Ibunya pergi?

OBSESSIONWhere stories live. Discover now