Part 4

776 31 5
                                    


Sekali lagi petir menyambar, dan kali ini lebih kuat, Simran berteriak ketakutan sambil menyembunyikan seluruh wajahnya di dada Amaar. Amaar menyingkirkan laptopnya dan menenangkan Simran. Hujan makin deras diluar, perkiraan akan ada badai malam ini mungkin benar. Kilat masih menyambar walaupun Simran sudah berusaha menutupi telinga dengan kedua tangannya.

" Aaah,,,aww,,,"

Teriak Simran berkali2 mendengar petir yang terus menyambar. Amaar melihat Simran bukan hanya takut akan petir. Ada sesuatu yang membuatnya sangat ketakutan . Tapi untuk bertanya saat ini , mungkin bukan waktu yang tepat. Karenanya Amaar hanya memeluk Simran dan mengusap2 punggungnya menenangkan Simran yang mulai menangis sambil terus menyembunyikan wajahnya, keringat bercucuran bahkan di kamar ber AC yang diset 16°C itu, Amaar terus menenangkan Simran.

" Sshhh,,,,Simran tidak apa2 aku disini,,,Ssshhh,,,tenanglah,,,,kumohon tenanglah. Kau tidak apa2, kau ada di kamar bersamaku, Simran lihat aku,,,,ssshhh."

Amaar memasangkan headphone pada Simran dan menyambungkan ke laptopnya lalu menyetel musik dengan beat yang agak slow serta menyetel volumenya dalam batas aman. Simran berangsur2 tenang walaupun hujan masih mengguyur deras di luar sana. Lama Amaar memeluk Simran sampai akhirnya Simran bernafas dengan teratur dan tertidur pulas. Amaar menyingkirkan rambut Simran dari wajahnya. Mengusap sisa keringat dan air mata yg mengering di wajahnya yg polos tanpa make up. Amaar tersenyum melihat wajah tanpa dosa Simran yang tertidur dipelukannya dengan tenang. Ia merebahkan Simran disebelahnya mengatur bantal dan melepaskan headphone dari telinga Simran. Simran menggeliat dan kembali memeluk Amaar dalam tidurnya. Amaar jadi tak bisa bergerak dan membiarkan saja tubuhnya dipeluk Simran , lalu ia sendiri mencoba tidur sambil menahan geliat hasrat yang kembali muncul .

Sampai pagi menjelang, Simran belum juga terbangun . Amaar yang terbangun lebih dulu memandang sayu wajah Simran. Dan memindahkan tangan yg semalaman melingkar erat ditubuhnya. Amaar meregangkan tubuhnya dan menggeliat meluruskan badan. Simran pun terbangun, mengucek2 matanya dan mengingat2 kejadian semalam. Amaar berpaling ke arah Simran. Merebahkan badannya miring kearah Simran sambil menyangga kepala dengan sebelah tangannya. " Kau manis sekali ketika tidur, My Laddu,,,berbeda sekali dengan saat pertama aku mengenalmu,,haha." Simran menutup wajahnya sendiri dengan bantal karena kalimat Amaar barusan mampu memunculkan semburat merah di pipinya.
Amaar tersenyum menahan hasrat yang tiba2 menyeruak ke permukaan. Amaar lalu segera beranjak dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Simran membuka bantalnya dan tertegun memandang punggung Amaar yang menghilang di balik pintu kamar mandi.

***

Simran dan Amaar telah sampai kembali di kastil mereka. Jiji Anga menyambut kedatangan mereka. Amaar hanya mengangguk tanda hormat kepada Jiji Anga, wanita yang telah mengasuhnya ketika Hameeda meninggal dunia di Pakistan.

" Bonjouir Monsieur , ala khafiz,,bolehkah aku berbicara berdua saja dengan anda Monsieur,,,?"

" Jiji Anga , sudah aku bilang tidak perlu memanggilku seperti itu ketika aku bersama Simran istriku, dia sudah jadi keluarga kita sekarang, hein na ?"

Amaar bahkan tidak sungkan memeluk Jiji Anga, dan Jiji Anga hanya menepuk2 pundak Amaar.Simran hanya memperhatikan dari belakangnya.

" Katakan padaku ada apa ?"

Jiji Anga ragu dan melirik Simran. Tapi Amaar memastikan dg isyarat matanya ' tidak apa2'.

" Tadi ada seseorang yang menelfon dan meminta anda datang menemuinya." Amaar menautkan kedua alisnya.

" Siapaa ?" Amaar melihat keraguan di wajah Jiji Anga, Amaar merubah intonasi suaranya menjadi agak tegas " Siapa ?"

" Owh ,,,umm, Madame Ruk,,," Jiji Anga belum menyelesaikan kalimatnya ketika Amaar menarik tubuh Jiji Anga untuk menjauh dari sana dan mengikutinya. Kepada Simran ia hanya berkata untuk menunggunya dikamar.

Love In ParisМесто, где живут истории. Откройте их для себя