"Kupikir kita jauh-jauh ke sini karena ada kemungkinan petunjuk." Gumamku sambil berjalan menjauhi Yoga. Lama-lama panas juga berada di dekatnya.

"Lo mau petunjuk? Then, I'll show." Aku belum sepenuhnya sadar ketika tiba-tiba dia sudah menarikku –lagi – ke sebuah kamar.

Mataku terbelalak. Semua yang ada di ruangan ini membuatku tercengang. Bukan desain kamarya yang mewah ataupun furniture mahal yang mengisinya, tetapi aku melihat begitu banyaknya foto April dan Bruno yang terpajang di sini.

Kepalaku mendadak pusing mencerna semua ini. Dimana-mana ada foto April dalam berbagai gaya, ekspresi dan ada satu foto besar yang terdapat di atas kepala ranjang. Tetapi foto Bruno... entah bagaimana aku menyebutkannya. Ada banyak fotonya bersama April tetapi yang mendominasi adalah foto yang diambil secara candid.

"Apa kepalamu yang cantik bisa menyimpulkannya?"

Dalam keadaan normal pasti aku sudah melayang mendengar Yoga mengatakan 'cantik' padaku. Tapi kalau sekarang, jangankan melayang, yang ada aku ingin lantai apartemen menelanku saja karena tidak tahan dengan tatapan sinisnya.

"JAWAB YUVA!"

Aku sampai meloncat karena mendengar bentakan Yoga kepadaku. Kepalaku semakin pusing saja dan sekarang malah jadi mual, air mataku juga rasanya sudah marathon untuk keluar dari kelopak mata.

"Bru..." Kata-kataku tertahan karena aku isakanku pasti akan keluar kalau aku paksakan bicara. Dengan dada sesak aku menarik napas dan berdeham untuk menjernihkan suara. "Bruno... Bruno..." Sial. Aku kehilangan kata di saat yang tidak tepat.

Yoga mendengus kasar tepat di samping kananku. "Kalau lo kebingungan, biar gue bantu." Dia berjalan dengan cepat menuju salah satu lemari. Dengan cepat dibuka pintunya dan mengeluarkan isi-isinya.

"Hah!" Suaraku tercekat. Ternyata selain foto yang ada dibingkai, wajah Bruno juga menghiasi bantal berbentuk hati, kaos, dan gelas-gelas cantik yang biasa digunakan sebagai pajangan.

"April teobsesi dengan Bruno." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku sebagai bentuk keterkejutan. Selama ini kukira dia sudah move on dari laki-laki yang penrah dekat dengannya dulu, apalagi dalam beberapa kasus dia hanya menanggapi biasa saja soal kedekatanku dengan Bruno –walaupun kedekatan kami lebih banyak karena ketidaksengajaan –.

"You got it. Guess what, apa penyebab mereka pisah?"

Aku memalingkan pandangan dari tumpukan benda 'berbau' Bruno ke wajah murka Yoga. "What?"

"Bruno doesn't love April, never!"

Ini informasi yang baru aku tahu. Aku ingat betapa lamanya April menunggu Bruno untuk menyatakan cinta yang ternyata memang tak pernah terjadi. Bahkan aku mengira kalau Bruno adalah player dan April hanya salah satu korbannya.

"Lalu apa hubungannya dengan gue?"

"Gue nggak tahu lo bodoh atau Cuma pura-pura?"

AKu kaget dengan kata-kata kasar Yoga. Bodoh? Dia menyebutku bodoh? Aku salah apa sih? "God, I don't know everything. You said I'm stupid? Yes, I think I am.

Cukup sudah! Aku muak! Lama-lama aku habis karena menelan kemurkaan Yoga tanpa tahu letak kesalahanku. Detik selanjutnya, kuputuskan untuk pergi saja. Bodoh amat dengan adanya transportasi umum atau tidak pada pukul 5 pagi. Kupikir aku lebih sanggup jalan sampai halte terdekat daripada menghadapi amukannya.

Belum sempat aku mengambil langkah kedua, lenganku sudah ditarik oleh tangan Yoga. Susah payah kutepis cengkeramannya, tapi aku kembali disadarkan kalau tenagaku jelas tidak ada apa-apanya dibanding dengan tenaga laki-laki yang sedang marah.

"Apa lagi?" teriakku frustasi.

"Apa lo nggak pernah sadar tatapan April saat lo bersama dengan Bruno?" Yoga ternyata tak berhenti mendesakku, tapi aku sudah lelah menjawab setiap pertanyaannya yang berujung dengan ucapan sinisnya. Kenapa dia tidak bilang langsung saja sih?!

"Mana gue tahu. Setahu gue semua nggak ada masalah karena saat itu lo sedang pacaran dengan April, walaupun itu ternyata hanya pura-pura."

"Did April tell you 'bout something?" Dia memicingkan mata, sekali lagi ini adalah salah satu caranya untuk membuatku buka mulut. Asal dia tahu saja, jangankan untuk buka mulut, pikiranku kali ini benar-benar kosong melompong. Blank.

"Dia bilang kalau kalian pacaran pura-pura buat bantu lo." Jawabku setelah memakan waktu lama untuk berpikir. Duh, Tuhan kapan interogasi ini akan selesai? Aku tambah mual kalau disuruh berpikir keras.

"Shit!"

Oh oh oh. Ini pertama kali aku mendengar Yoga mengumpat sepupunya sendiri. Kalau April saja sanggup diumpat, apalagi denganku yang sering membuatnya jengkel. Oh stop Yuva! Pemikiran lo kenapa jadi nggak penting di saat genting seperti ini?!

Aku menunggu sesaat sampai keadaan membaik, paling tidak sampai Yoga menghilangkan gurat kemarahan di wajah tampannya. Aku takut, jelas. Ini pertama kalinya aku dimarahi tanpa benar-benar melakukan kesalahan.

"Can I go home now?" Yoga seketika melotot kembali setelah aku diam. " I mean... You don't need me anymore." tambahku dengan nada gugup.

"Bilang sama pacar lo kalau sampai ada apa-apa dengan April, dia orang pertama yang gue habisi!"

Aku ingin meluruskan sekaligus melontarkan pembelaan atas penyataan Yoga yang ngawur. Tapi begitu aku membuka mulut, bukan kata yang keluar melainkan isi perut yang sejak tadi bergolak. Ada sekitar dua kali aku menumpahkan cairan menjijikan yang membuat tulangku serasa rontok.

Setelah isi perutku benar-benar kosong –aku yakin karena yang keluar hanya cairan –kutegakkan kembali badanku. Rasanya memang lebih baik daripada tadi saat masih menahan jackpot. Tapi badanku jadi lemas luar biasa dan masalah selanjutnya menanti, I vomited on Yoga. His clothe is eeuyuhhh.

-bersambung-


To Be With You (Slow Update)Onde histórias criam vida. Descubra agora