Prolog

23K 822 21
                                    

"Aku tidak menyangka kau akan menikah secepat ini," ucap Luna dengan raut sendunya. "Aku kira kau dan Kak Dimas adalah pasangan yang serasi. Tapi, kau malah menerima perjodohan konyol dari orang tuamu."

Selena berbalik untuk memandang Aluna. Memberi isyarat agar para penata rias yang membantunya bersiap untuk sedikit memberi jalan. Selena mendekati Aluna perlahan. Dia tidak ingin gaun pengantinnya kusut.

"Kak Dimas adalah pria baik. Aku mengakuinya. Tapi, ada hal yang mungkin akan selalu mengganjal hubungan kami berdua."

Luna mengerutkan keningnya. "Bukankah kalian saling mencintai? Apa lagi yang mengganjal?"

Selena tersenyum kepada Luna. "Restu," ucapnya lembut tanpa menghapus senyuman dari bibirnya. "Seperti yang kau tahu, aku juga mendambakan pernikahan sakral dengan pria yang aku cintai. Sepertimu. Benar, kan? Tapi, setelah aku melihat kedua orang tuaku terutama papa, aku jadi sadar bahwa pernikahan bukan hanya tentang kami berdua, tetapi juga penyatuan kedua keluarga. Jadi, percuma saja aku melanjutkan hubungan tanpa restu itu."

Luna tidak bisa membantah ucapan Selena. Ia sangat tahu jika wanita cantik itu sangat menyayangi papanya. Sejak sang mama meninggal karena kanker tiga tahun lalu, ia hanya mempunyai papanya. Karena itulah, Selena tidak pernah sedikit pun membantah perintah sang papa.

Luna mendesah frustrasi. "Aku mengerti, hanya saja aku masih tidak percaya, kenapa secepat ini kau bisa mengambil keputusan? Bukankah kau bisa meminta waktu untuk lebih mengenalnya?"

Selena tersenyum lembut. "Kau akan mengerti. Cepat atau lambat, kau akan mengerti keputusanku ini."

"Pengantin wanita harap bersiap."

"Baik," jawab Selena lantang sembari tersenyum. Ia pun berjalan ke luar ruangan untuk mengikuti seorang pengarah acara dari wedding organizer yang telah disewa papanya.

Luna menatap kepergian Selena, sahabatnya, dengan sedikit tak rela. Tak rela melepas sahabat baiknya untuk terperangkap dalam jebakan yang bernama pernikahan.

***

Sean menatap kosong kursi pelaminan di depannya. Mungkin, inilah ritual yang sering dilakukannya ketika menghadiri undangan resepsi pernikahan. Sean mendesah pelan, kemudian berbalik memunggungi pelaminan tersebut.

Sudah hampir lima tahun semenjak pernikahan kakak dan mantan kekasihnya, tetapi ia belum juga berani membuka hati untuk hubungan baru. Ia begitu takut untuk memulainya. Pria itu takut akan kembali melukai hati seseorang seperti ketika melukai perasaan Silla—kakak ipar sekaligus mantan kekasihnya.

Sean sekarang memang lebih fokus dengan pekerjaannya. Karya-karya Sean di bidang seni patut diacungi jempol. Bahkan, sekarang ia telah berhasil membuka sepuluh sekolah seni yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia di usianya yang bahkan belum mencapai 33 tahun.

"Jangan melamun terus. Kesambet baru tahu rasa."

"Melamun apaan? Aku hanya memperhatikan gadis-gadis cantik di sini. Siapa tahu bisa mendapatkan nomor telepon mereka," Sean berkilah kepada sahabatnya yang tiba-tiba datang menghampiri itu.

Rio tertawa mendengar ucapan Sean. Pria itu sangat tahu bahwa apa yang diucapkan Sean hanya bualan. Sean sudah menutup rapat hatinya. Rasanya, sangat sulit memaksa pria itu untuk dekat lagi dengan wanita mana pun.

"Aku berani bertaruh, kau tidak akan berani melakukannya."

"Cih, kau meremehkanku," ucap Sean tak terima. "Hanya dengan sekali kedipan mata, mereka yang akan mendatangiku dengan suka rela."

"Sudahlah, Sayang. Jangan ganggu Bos," ujar seorang wanita dengan perut membuncit yang sejak tadi berdiri di samping Rio. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun berbahan satin yang dikenakannya, meski dengan perut sebesar itu.

"Aku tidak mengganggunya, kok, Sayang. Hanya mengusilinya saja," ucap Rio, kemudian mencium kening istrinya, Hera.

Sean bahagia karena sang sahabat telah menemukan belahan jiwanya. Rio terlihat sangat mencintai istrinya, begitu juga sebaliknya.

"Kalian mencoba membuatku iri dengan kemesraan kalian?" Sean menyindir, pura-pura jengkel.

"Si Bos cemburu, nih, Sayang," ucap Hera masih dalam pelukan Rio.

"Ah, biarkan saja, Sayang. Siapa suruh jadi bujang lapuk?"

Sean kesal dengan sindiran halus yang dilontarkan oleh Rio itu. "I'm single and I'm happy. Jadi, tak masalah bagiku."

Rio dan Hera terkekeh mendengar pernyataan Sean. "Happy kok kesal gitu? Tidak usah terlalu banyak alasan, Sean. Di usia kita yang memang sudah matang, pasangan hidup adalah suatu kebutuhan. Jangan terlalu kaku. Cobalah sedikit saja untuk membuka hati. Aku yakin wanita-wanita di luar sana rela antre hanya untuk sekadar melihat wajahmu."

"Berlebihan," cibir Sean.

Rio tersenyum tipis. "Aku yakin, akan ada saatnya kau akhirnya bertekuk lutut di hadapan seorang wanita yang bahkan tidak pernah kau bayangkan sebelumnya."

"Ya. Aku sangat tak sabar menantikan saat itu," jawab Sean serius dengan menatap Rio penuh arti.

"Papa ...," panggil putri kecil Rio dalam gendongannya sembari menguap lebar. "Ai ngantuk."

Rio kembali tersenyum menatap ekspresi lucu putrinya. "Aku rasa, inilah tandaku."

"Iya, aku tahu," jawab Sean mengerti.

"Ya sudah, kami pulang dulu. Kau ikut atau—"

"Aku di sini saja," potong Sean cepat. "Aku masih menunggu seseorang."

"Ya sudah, kalau begitu. Kami duluan, ya."

Sean hanya membalas dengan lambaian tangan. Jujur saja, ucapan Rio tadi mulai mengusiknya. Ia memang harus mulai membuka hati untuk perempuan lain. Silla sekarang sudah bahagia dengan kakaknya. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menyalahkan diri atas semua kebodohannya di masa lalu.

Sean terlalu larut dalam lamunan hingga tidak sadar ada seorang gadis yang tengah berjalan tergesa ke arahnya. Karena tidak siap, gadis itu pun menubruk tubuh tinggi Sean hingga jatuh terduduk.

"Aduh!" Gadis itu mengerang kesakitan. "Maaf," ucapnya kemudian.

Sean menatap gadis yang terlihat masih sibuk merapikan gaunnya itu. Gadis itu kembali berdiri dan sekali lagi mengucapkan maaf, lalu pergi begitu saja dari hadapan Sean.

Sean hanya menggelengkan kepala melihat kelakukan aneh gadis tadi, lantas kembali menatap pelaminan yang kini telah diisi oleh sepasang pengantin yang terlihat sangat bahagia. Tanpa disadari, senyum pun mengembang dari bibirnya. Setelah puas menatap semua kebahagiaan itu, Sean langsung melangkahkan kakinya keluar dari ballroom hotel tanpa menoleh lagi.

***







The Art of Love akan di-repost ulang. So, terus nantikan kelanjutannya ya...

Tolong bantu vote dan share ya... 








Thanks for reading

Love you....

XOXO










The Art of Love (The Adams' Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang