Nadira mengamininya. Gadis berusia enam tahun itu sangat menyayangi wanita itu.

Tapi sekarang gadis itu hanya bisa menyeka air matanya. Mau berapa kali pun dia berusaha untuk mengatasi hal ini, tetap saja pada akhirnya akan berujung air mata. Sebab apa yang dia rasakan tak hanya rindu. Melainkan rasa kebingungan, ketidakpastian yang dia sendiri tidak tahu harus bagaimana lagi, langkah apalagi yang mesti dia ambil untuk ke depannya. Rumah yang dia tinggali tak lagi nyaman baginya. Dia tidak lagi berharap. Dibenaknya kini hanyalah terlintas sebuah pernyataan: Apakah ini yang dipanggil rumah?

Pukul enam pagi, setelah Nadira menghabiskan sarapannya dia langsung bergegas menuju ke sekolah. Disusul Zia yang kali ini begitu gembira dan banyak berceloteh kepada Arman. Pria itu juga membalasnya dengan gelak tawa. Dan di meja makan tadi, Nadira sama sekali tak diajak dalam topik pembicaraan itu. Dia merasa disudutkan. Keberadaannya benar-benar tak dianggap.

Jangan tanyakan tentang ibu tirinya itu. Sedari tadi dia tersenyum puas melihat situasi yang terjadi.

"Nadira berangkat ya, Bu!" seru Nadira pada Sandra yang sedang duduk di ruang tengah. Membaca majalah cerpen Silainge sambil menyelonjorkan kakinya di atas sofa. Tak dibalas sedikitpun ucapan Nadira tadi.

Seperti biasa, gadis itu berjalan kaki ke sekolah. Dia tak mau mengambil pusing untuk mengandalkan dirinya kepada Arman yang sama sekali tak pernah menawarkan untuk diantar. Dibilang baper? Tidak. Justru hal itu membuat Nadira semakin paham jika dia juga bisa mengambil langkah dibandingkan 'mengandalkan' dan 'mengharapkan' orang lain.

Udara pagi begitu segar. Nadira memejamkan matanya, membiarkan kilauan emas dari Sang Mentari yang menyambut pagi memberikan cahayanya. Perlahan tapi pasti, itu membuat energinya bertambah.

Tak lama kemudian, sebuah mobil Toyota Fortuner VRZ 4X2 berwarna abu-abu itu melintas di sampingnya. Terlihat Zia yang memberikan jari tengahnya ke luar jendela mobil.

Nadira tersenyum sinis. "Kurang ajar," katanya pelan. Toh dia juga tak peduli dengan tingkah mereka.

"Pip pip pip!!" suara berat itu berhenti di samping Nadira.

"Ojek, Neng? Hayo buruan saya udah telat nih!" kata Diego pura-pura terburu-buru. Astaga, lihatlah! Kali ini dia mengendarai motor Vespa biru muda yang membuat gadis itu keheranan.

Nadira langsung naik, tersenyum lebar.

"Eh, kok malah berhenti sih, bang?" kata Nadira berlagak naik ojek.

Diego terhenyak sejenak. "Eh maaf, Neng. Abis tadi saya baru lihat sesuatu yang menakjubkan."

"Apaan?"

"Senyuman Eneng."

Nadira terdiam. Kemudian dia merasakan mukanya memerah.

"Udah motor keberapa?" tanya Nadira sepanjang cowok itu mengendarai motor.

"Apanya? Oh, kereta gue? Gak tau," kata Diego.

Nadira tertawa kecil. "Kamu mesti buka usaha motor sih. Terus cobain semua motor yang ada," katanya.

"Haha, moga aja gitu."

Tak banyak yang mereka bicarakan, sebab keduanya sama-sama tersadar bahwa mereka mendapati diri mereka dalam kegugupan satu sama lain.

Sesampainya di sekolah, Diego meminta Nadira untuk menemaninya mengambil bola basket di ruang olahraga. Pagi ini mereka akan ada jam olahraga. Lalu mereka pergi ke kelas bersama.

"Aduhai! Pengantin baru udah dateng nih!" kata Kalisa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Aduhai! Pengantin baru udah dateng nih!" kata Kalisa. Semua orang menatap ke arah mereka.

Nadira menatap cewek itu dengan cuek. Lalu duduk ke kursinya. Eca yang sedang duduk di sebelahnya juga ikutan menyindir. "Dah berapa lama pacaran?" katanya.

"Apaan sihh," Nadira membantahnya.

Dari belakang, Reynald memahami situasi. Ada yang mengganjal dalam pikirannya saat ini.

To be continued...

To be honest, gw gak tau lagi mau dukung ****** atau **** buat jadi *** nya ***

So, selamat penasaran 👊😑

If I Call It HomeWhere stories live. Discover now