🌟Chapter 14

59 4 7
                                        

Pagi itu, entah mengapa Sandra tak membangunkannya. Nadira juga terbangun dan tetap melakukan apa yang biasa dia lakukan setiap pagi. Tetapi saat Sandra melihatnya, dia langsung menghentikannya.

"Sudah, kali ini kamu gak usah masak lagi. Saya sudah memperkejakan pembantu di rumah ini," kata Sandra berjalan menghampirinya.

Nadira terdiam sejenak. Lalu dia tersenyum menatap ibunya itu.

"Oh, syukurlah. Tapi kok tumben?" tanya Nadira blak-blakan. Dia masih kecewa dengan apa yang dia alami semalam. Terlebih Sandra yang tiba-tiba 'baik' pagi ini. Tidak seperti biasanya.

"Ya sudah tinggal kamu terima saja! Tapi bukan berarti kamu santai di rumah ini. Bantu saya kerjain urusan rumah," kata Sandra. Lalu dia berbalik menuju ruang tengah.

Nadira menatapnya sinis. "Dih."

Ada hal yang tak dapat dia jelaskan. Perasaan tak nyaman, was-was, khawatir semuanya tercampur menjadi satu. Dia merasa keberadaannya di rumah ini sama hal nya tidak bermakna apapun selain menambah anggota keluarga saja. Tak ada lagi kehangatan yang dia rasakan. Tak ada lagi gelak tawa yang biasa dia lakukan dengan ibu nya dulu. Tak ada lagi semua hal yang bisa menenangkan hatinya, menentramkan hati masing-masing anggota keluarganya.

Semuanya telah berubah.

Nadira sudah berusaha untuk bersabar dan mencoba untuk memahami ibu tirinya itu. Juga papa nya yang berubah perlakuan terhadapnya. Zia, adik tirinya yang berusia tiga belas tahun itu juga sama saja tabiatnya dengan Sandra.

Terdengar suara langkah yang mendekatinya. Perempuan yang tampaknya berusia 40-an itu telah berdiri di depannya.

"Permisi, Non. Kenalin nama bibi Imah. Semalam bibi nyampe di sini dari kampung, jadi gak sempat papasan sama Non nya. Oh iya, kalo gak salah namanya Nadira ya?" terang Bi Imah.

"Iya, bi. Selamat datang ya, semoga bibi betah tinggal dan bekerja di rumah ini," kata Nadira.

"Baik, Non. Insyaallah. Ya sudah, non bibi izin ya ambil alih kerjaannya," kata Bi Imah kepada Nadira.

Nadira mengiyakannya. Kemudian gadis itu segera pergi menuju kamarnya. Waktu masih menunjukkan pukul setengah lima pagi. Dia merebahkan dirinya sejenak. Pikirannya yang masih segar itu pun langsung memikirkan ingatan akan ibunya. Ada banyak kenangan yang dia punya. Walaupun itu sulit untuk dilupakan, tetapi ada kalanya perlu untuk diingatkan. Kenangan itu sering pula terlupakan, tetapi tiba-tiba saja muncul di kemudian hari. Ya, benar-benar membekas dalam ingatan.

Gadis kecil itu terbangun dari tidurnya. Samar-samar dia mendengar suara lantunan ayat suci Al-Quran dari musala rumahnya. Dia turun dari kasur dan membuka pintu, berjalan menuju suara itu.

Dia mengintip dari balik pintu. Melihat seorang wanita yang berbungkus mukena putih bermotif bunga itu kini khusyuk berdoa. Menitikkan air mata. Gadis kecil itu langsung berlari ke arahnya setelah wanita itu menyelesaikan doanya.

"Eh, sayang udah bangun..," ucap lembut mamanya. Membiarkan Nadira kecil masuk ke pangkuannya.

Nadira mendongak menatap wajah mamanya. "Mama kok nangis??" katanya.

"Mama baru siap berdoa..,"

"Kenapa harus nangis? Mama gak boleh nangis," ucap Nadira sambil mengangkat tangannya, segera mengusap bekas air mata mama nya.

Mama nya tersenyum.

"Mama bangga punya Nadira. Mama doakan semoga Nadira jadi orang yang salehah, berbakti kepada kedua orang tua, berbudi pekerti luhur, sehat dan menjadi orang sukses kelak..," ucap mamanya sambil membelai rambut Nadira.

If I Call It HomeМесто, где живут истории. Откройте их для себя