🌟Chapter 4

103 4 2
                                        

Beri vote dan komen ⭐

Beri vote dan komen ⭐

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Nadira terbangun pada pukul dua dini hari. Seperti biasa suara ketukan dari luar pintu kamarnya terdengar begitu keras. Memecah keheningan malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat dan menenangkan diri.

"Nadira! Bangun cepat!"

Dengan sekuat tenaga gadis itu bangkit setelah mengumpulkan energinya. Dia pun berjalan menuju pintu.

"Iya ada apa, Bu?" tanya Nadira sambil menahan kantuk nya.

"Saya mau bicarakan hal ini sama kamu. Harusnya dari tadi, tapi kamu gak turun-turun ke bawah. Malah tidur," kata Sandra lalu masuk ke dalam kamar.

"Kamu tahu kan gak lama lagi kamu akan tamat sekolah? Anggap saja sisa setahun lagi. Saya mau minta sesuatu sama kamu," kata wanita itu lagi.

"Apa, Bu?"

"Gak usah kuliah."

Seketika Nadira terkejut. Kantuknya hilang dalam hitungan detik.

"Apa maksudnya, Bu? Aku tetap mau melanjutkan sekolahku, Bu. Kuliah!" Nadira meninggikan suaranya.

Sandra memutar bola matanya. "Sudah saya duga kamu bakalan jawab gitu. Jangan sok pintar deh. Kamu itu gak ada bedanya sama ibu kamu, sama-sama keras kepala. Udah nurut aja apa yang saya bilang. Kamu mau gak saya sekolahin?" tukas Sandra mengancam Nadira.

"Maksud ibu bawa apa? Kenapa ibu membandingkan saya dengan mama saya sendiri? Kenapa, Bu!" seru Nadira tak terima.

"Gak ada alasan bagi saya untuk berhenti menggapai apa yang saya inginkan. Selagi itu baik buat aku, Bu. Dan aku mohon sekali lagi. Apa hak ibu mengancam sekolah saya? Bahkan yang menafkahi keluarga ini cuma papa! Gak ada sangkut-pautnya dengan ibu!" kata Nadira sambil meneteskan air matanya.

"Kurang ajar kamu!"

Suara tamparan terdengar. Nadira tak peduli dengan rasa sakit yang baru saja menghujam pipi kanannya.

"Awas aja kamu! Saya gak akan biarin kamu tinggal di rumah ini."

Wanita itu pun berbalik dan keluar dari kamar Nadira.

Tak ada yang bisa gadis itu lakukan selain menghadapi kenyataan yang terjadi. Ia tak ingin semua usai begitu saja. Dia masih harus memperjuangkan kehidupannya. Meskipun tak senyaman yang dia kira. Juga tak sehangat yang dia rasa.

"Kamu harus tegar ya, nak. Jangan mudah putus asa!"

Kalimat yang pernah diucapkan oleh ibu nya itu tiba-tiba terlintas di pikiran Nadira. Ia semakin mengerti dengan apa yang seharusnya dia lakukan untuk saat ini: menjadi tegar.

Tetapi baginya itu tak mudah. Bagaimana pun caranya, sekuat apapun dia menyembunyikan segala rasa yang menyesakkan dada pasti selalu berbuah putus asa.

"Ma.., Nadira kangen mama..," ucapnya lirih. Bekas tamparan tadi terasa begitu perih.

If I Call It HomeWhere stories live. Discover now