"Seragam membuat kita terlihat sama, tapi tidak pernah benar-benar setara."
Arvenzo Mahadira, Levano Raksa, Selvara Anindya, Veylana Pramesi, dan Amareza Lioren-lima siswa yang selalu dielu-elukan sebagai wajah sempurna Regalis International School...
Arvenzo tersenyum tipis tanpa humor. “Karena manusia lebih takut kehilangan reputasi daripada kehilangan nyawa. Dan kita hanya perlu memastikan mereka terus hidup dalam ilusi itu.”
Selvara menambahkan dengan suara pelan, “Kita bukan cuma bagian dari ilusi itu… kita yang mengendalikannya.”
Kelas pagi itu berjalan seperti biasa—atau setidaknya, begitulah yang ingin ditunjukkan pihak sekolah. Arvenzo duduk di barisan tengah, laptopnya tertutup rapi di meja. Levano menyandar di kursinya, tangan terlipat, sementara Selvara sibuk menulis catatan dengan rapi. Veylana dan Amareza duduk berdampingan di sisi kiri, tampak acuh meski telinga mereka awas.
Guru Hanif memasuki kelas dengan wajah lelah, menaruh tumpukan kertas tebal di meja. Suasana hening beberapa detik sebelum ia membuka mulut. “Anak-anak, sebelum kita mulai pelajaran hari ini, saya ingin menyampaikan sesuatu.”
Beberapa murid langsung saling berbisik. Semua tahu apa yang akan dibicarakan. “Kita semua tentu sudah mendengar… tentang insiden yang menimpa salah satu teman kita di area asrama. Saya ingin menekankan bahwa itu murni kecelakaan. Tidak ada pihak lain yang perlu disalahkan.”
Bisik-bisik makin ramai. Ada yang mengangguk percaya, ada pula yang jelas-jelas ragu. Hanif menghela napas berat lalu menambahkan, “Saya harap tidak ada lagi gosip yang berkembang. Sekolah kita punya reputasi yang harus dijaga. Jadi, mari kita hormati keputusan ini dan tetap fokus pada prestasi.”
Levano yang sejak tadi hanya tersenyum tipis, membisikkan komentar pada Selvara tanpa mengalihkan pandangan dari papan tulis. “Lucu sekali. Bahkan guru yang katanya kritis pun bisa jadi corong propaganda murahan.”
Selvara menahan tawa kecil, menutupinya dengan pura-pura batuk. “Itu karena mereka tahu, sekolah ini bukan sekadar tempat belajar. Ini panggung politik. Dan semua orang rela tunduk demi tetap berada di panggung itu.”
Arvenzo mengangkat kepalanya perlahan, menatap tajam ke arah Hanif yang masih berusaha menenangkan kelas. Senyum tipisnya muncul—senyum dingin yang hanya bisa dimengerti oleh keempat temannya. Ia tahu, kata-kata guru itu bukan peringatan, tapi justru pengakuan terselubung bahwa kebenaran tidak akan pernah benar-benar terungkap.
Amareza menunduk pada gadget-nya, jari-jarinya bergerak cepat. Veylana melirik sekilas. “Kamu ngapain?” bisiknya.
Amareza tersenyum tipis. “Cuma memastikan berita yang beredar di forum luar sekolah tetap sesuai dengan narasi resmi. Percayalah, gosip yang tidak menguntungkan kita tidak akan bertahan lama.”
Levano mendengus puas. “Sempurna. Dunia maya pun bisa kita atur, apalagi cuma lorong sekolah.”
Kelas pun kembali ke rutinitas biasa, seolah-olah tidak pernah ada tragedi. Namun di bangku mereka berlima, ada rasa kemenangan yang samar. Mereka bukan hanya murid—mereka dalang, dan seluruh sekolah hanyalah boneka yang dipaksa menari mengikuti irama mereka.
Guru Hanif melanjutkan pelajaran dengan wajah yang lebih muram dari biasanya. Kata-katanya teratur, suaranya jelas, tapi ada getar kecil di sela-sela kalimat yang tidak bisa disembunyikan. Murid-murid lain mungkin tidak menyadarinya, tapi Arvenzo dan keempat temannya menangkap semua detail kecil itu.
Hanif tahu betul kebenaran pahit yang menempel di dinding sekolah ini— aturan tak tertulis yang dipaksakan oleh kepala sekolah dan dewan yayasan. Tidak ada satu pun guru yang boleh mengusik murid-murid kelas atas, terutama mereka yang keluarganya berpengaruh besar di publik. Pelanggaran berarti kehilangan pekerjaan—dan lebih buruk lagi, kehilangan harga diri serta keamanan keluarganya.
Bagi Hanif, gaji besar di RIS bukan sekadar angka, melainkan nyawa bagi keluarganya di rumah. Biaya sekolah anak-anaknya, cicilan rumah, perawatan orang tua. Semua itu terlalu mahal untuk dipertaruhkan demi “kebenaran” yang pada akhirnya akan dipelintir oleh kekuasaan. Jadi, ia memilih diam.
Di barisan tengah, Arvenzo menutup matanya sejenak, lalu kembali menatap papan tulis dengan ekspresi tenang. Ia tahu Hanif mengerti, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Itu yang membuatnya semakin berbahaya—kesadaran tanpa keberanian adalah bentuk penaklukan paling halus.
Levano menguap malas, lalu berbisik dengan nada setengah mengejek. “Kasihan, bukan? Seorang guru yang seharusnya jadi teladan, malah jadi boneka. Tapi aku bisa mengerti. Semua orang punya harga.”
Selvara menyahut lirih, matanya tak lepas dari catatan. “Bahkan orang yang katanya berprinsip pun akan menunduk kalau perut keluarganya yang jadi taruhan. Hukumannya? Kehilangan integritas.”
Veylana menambahkan dengan suara dingin. “Dan itu lebih memalukan daripada sekadar kehilangan pekerjaan.”
Amareza menutup gadget-nya, menatap ke depan dengan tatapan hampa namun senyuman samar di bibirnya. “Begitulah sistem. Semua orang bilang ingin perubahan, tapi ketika kesempatan datang, mereka memilih diam. Karena kenyataannya, yang berkuasa selalu menang.”
Sisa jam pelajaran pun berjalan datar. Hanif menulis, murid-murid mencatat, tapi semua terasa seperti sandiwara. Setiap orang tahu aturan mainnya, tapi berpura-pura tidak.
Saat bel berbunyi, kelima murid “tak tersentuh” itu berdiri dengan tenang, seolah tidak ada yang pernah terjadi. Langkah mereka meninggalkan kelas tidak terburu-buru, namun justru menguasai ruangan dengan keheningan yang berat.
Di belakang, Hanif menatap punggung mereka, lalu menghela napas panjang. Ia tahu, kelima murid itu berbeda dari yang lain. Bukan hanya unggul, tapi juga licik, berbahaya, dan terlindungi. Mereka bukan sekadar bintang kelas atas—mereka adalah inti dari sistem rusak yang ia sendiri tidak bisa lawan.
Dan RIS, sekolah yang dielu-elukan sebagai surga pendidikan, hanyalah panggung bagi para dalang kecil yang sedang belajar memainkan dunia.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Terima kasih sudah baca sampai akhir bab! Yuk, tinggalkan jejak di komentar, kasih vote, dan simpan ceritanya di Pustaka kalian yawww