"Seragam membuat kita terlihat sama, tapi tidak pernah benar-benar setara."
Arvenzo Mahadira, Levano Raksa, Selvara Anindya, Veylana Pramesi, dan Amareza Lioren-lima siswa yang selalu dielu-elukan sebagai wajah sempurna Regalis International School...
Sebelum lanjut baca, jangan lupa klik vote dan komen biar aku tahu kalo banyak yang nunggu kelanjutan cerita ini dan kalo bisa, boleh banget share cerita ini ke temen kalian!
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Tisu basah di tangan Selvara bergetar sedikit saat ia mengusap noda merah di jari Levano. Malam itu kamar asrama masih dipenuhi dengan keheningan, hanya lampu tidur yang menyala remang. “Ini bukan darahmu, kan?” tanya Selvara pelan, matanya menatap lekat.
Levano menyeringai tipis, bukan senyum yang ramah, melainkan senyum penuh tekanan. “Bukan. Cuma… darah orang bodoh yang berpikir bisa asal bicara soal kalian.” Selvara mendesah, tangannya berhenti di udara sesaat. “Kau terlalu gegabah.”
Levano terkekeh kecil, nada suaranya ringan, tapi matanya tajam. “Kalau mereka bisa seenaknya bicara, kenapa aku tidak boleh seenaknya juga menghentikan mulut mereka? Dunia ini kan memang begitu—siapa yang punya kuasa, dia yang bisa bicara paling keras.”
Arvenzo yang sejak tadi rebahan membuka matanya sejenak. “Kau sudah mempermalukan mereka. Itu cukup. Jangan buat jejak terlalu jelas, Levano.” Nada dingin Arvenzo membuat Selvara menoleh, lalu ia melipat tisu basah yang kini berwarna merah.
“Tenang saja,” jawab Levano sambil merebahkan tubuhnya lagi. “Mereka tidak akan berani melapor. Lagipula… kalau pun berani, siapa yang bakal percaya sama mereka? Kita semua murid emas sekolah ini. Apa sekolah mau akui anak kebanggaan mereka ternyata bajingan?”
Arvenzo menutup mata lagi. “Tepat. Bahkan kalau pun ada yang mencoba membuka mulut, dunia ini sudah terlalu busuk untuk mendengar kebenaran. Semuanya bisa dibeli— suara, hukum, bahkan nurani.”
Senyum miring terukir di wajah Veylana yang sejak tadi diam. “Lucu ya. Orang-orang selalu bilang kalau kebenaran akan menang pada akhirnya. Padahal yang selalu menang itu… siapa yang bisa bayar lebih mahal.”
Amareza menimpali dengan nada datar tanpa melepaskan pandangan dari gadgetnya. “Dan kita? Kita kan sudah lama tahu caranya bermain dengan aturan busuk itu. Bedanya… kita tidak pura-pura jadi pahlawan.”
Keheningan menyelimuti kamar. Kata-kata mereka menggantung di udara, seperti benang tak kasat mata yang perlahan mencekik.
Pagi harinya, semua kembali normal. Suara bel sekolah bergema, siswa-siswi berhamburan ke kelas masing-masing. Di luar, rumor tentang kematian siswa di dekat asrama masih terdengar samar. “Kecelakaan” adalah kata yang terus diulang guru-guru dan pihak sekolah, seakan ingin menghapus setiap keraguan.
Arvenzo berjalan lebih dulu dengan wajah datar, diikuti Selvara, Levano, Veylana, dan Amareza. Dari luar, mereka tampak seperti murid teladan: berseragam rapi, buku di tangan, senyum di wajah. Tidak ada yang bisa menebak bahwa di balik semua itu, mereka lah sutradara dari tragedi yang tengah menjadi bisik-bisik di lorong.
“Kadang aku heran,” ucap Levano tiba-tiba dengan nada santai, “kenapa orang-orang masih percaya sekolah ini bersih. Padahal jelas-jelas, semua masalah cuma ditutup rapat dan diberi label manis.” Ia menyeringai, menoleh pada Arvenzo. “Bukankah itu persis seperti negara ini? Yang penting citra bagus, meskipun isinya… ya, busuk.”