Gelombang rasa was-was mengalir saat aku menatap mata pengunjung tak terduga itu, wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayang-bayang malam. Dengan napas tertahan, aku menunggu ia bicara, sementara kesunyian di antara kami terasa penuh dengan pertanyaan yang belum terucap dan rahasia yang tak terduga.
Suara bel pintu yang terus berbunyi menggema di foyer besar, memperkuat ketegangan yang mulai melilit dadaku.
Tanganku melayang ragu di atas gagang pintu, terhenti sesaat saat berbagai pertanyaan membanjiri pikiranku. Siapa yang datang di jam seperti ini? Dan bagaimana mereka bisa menembus keamanan di komplek elit ini?
Mengumpulkan sedikit keberanian, aku memutar gagang pintu dan membukanya, menyingkap pemandangan redup di halaman depan.
Pintu berat itu berderit pelan saat terbuka, napasku tertahan, mataku membesar tak percaya. Berdiri di depanku, diterangi cahaya lembut lampu teras, adalah sosok yang sama sekali tak kuduga akan muncul di sini.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku, suaraku memadukan nada terkejut dan waspada. Kehadirannya membuat rasa tidak nyaman menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku tetap siaga sambil menunggu jawabannya.
Jantungku berdegup makin cepat saat kusadari siapa yang berdiri di hadapanku—Haerin, wanita misterius yang selama ini menyusup ke pikiranku dan mengusik perasaanku. Meski aku berusaha tetap terlihat tenang, ada gelombang kegelisahan yang mengalir deras saat mataku bertemu tatapan tajamnya.
Bibir Haerin melengkung membentuk senyum licik, matanya berkilat nakal saat melihat reaksiku.
“Kaget lihat aku?” godanya, suaranya penuh nada menggoda.
Aku menelan ludah, berusaha mencari kata-kata di tengah pusaran emosi yang membuncah.
“Aku… aku nggak menyangka…,” ucapku terbata, mencoba menenangkan diri. Kehadiran Haerin memiliki daya tarik yang sulit diabaikan, menarikku meski logikaku berkata untuk menjauh.
Senyum Haerin semakin lebar, membuat bayangan menari di wajahnya saat ia melangkah mendekat. Auranya memenuhi ambang pintu, hampir terasa menyentuh kulitku.
“Aku cuma mau mampir,” ujarnya lembut, suaranya halus bak sutra dan sarat pesona. “Lagipula, aku nggak bisa melewatkan kesempatan buat ketemu kamu lagi.”
Jantungku berdegup makin cepat. Antara rasa senang dan rasa was-was, aku berusaha menyeimbangkan tarikannya yang begitu kuat dengan keinginanku untuk menjaga jarak.
Mengumpulkan sisa keberanian, aku menegakkan bahu dan menatap matanya dengan tegas.
“Kita sudah sepakat kamu akan memberi aku ruang,” kataku, suaraku tegas meski hatiku berkecamuk.
Senyum Haerin tidak pudar. Ia malah melangkah masuk begitu saja, gerakannya tenang dan penuh keyakinan. Meski aku diam-diam tak setuju, ia sama sekali tidak terganggu, seolah yakin bahwa tempat ini memang miliknya.
Aku hanya bisa memandangnya berjalan santai ke dalam ruangan, auranya memenuhi udara dengan ketegangan yang sulit diabaikan. Rasanya ia menguasai seluruh ruangan, membuat semua perhatian tertuju padanya.
Rasa kesal dan gelisah mulai memuncak, tapi entah kenapa aku sulit mengucapkan penolakan. Kehadirannya seperti beban yang menekan, membuatku merasa terjebak dan tak berdaya di rumahku sendiri.
Tak bisa dipungkiri, Haerin memang cantik—pesonanya memancar kuat. Tapi kecantikannya kalah oleh rasa tak nyaman yang kurasakan karena kedatangannya yang tiba-tiba.
Saat ia dengan anggun melepaskan trench coat dan menggantungkannya di rak, aku merasa seperti sedang ditelanjangi oleh tatapannya yang tajam. Seolah ia bisa menembus semua pertahananku, mencabut habis rasa privasi dan kendali.
Tatapannya menyapu seluruh tubuhku, mengikuti setiap lekuk dengan intensitas yang membuatku gusar. Meski berusaha menjaga ketenangan, rasa rentan itu sulit hilang.
Aku berdeham, mencoba mengambil alih situasi.
“Haerin, aku menghargai maksudmu, tapi sebaiknya kamu pergi,” kataku, suaraku tegas namun tetap ragu.
Senyum Haerin berubah menjadi lebih dalam, matanya berkilat penuh kenakalan.
“Ah, Minji… jangan buru-buru usir aku,” ujarnya lembut, melangkah lebih dekat. “Aku tahu kamu juga merasakannya—koneksi yang nggak bisa kita tolak.”
Aku menahan diri untuk tidak mundur, tak mau menunjukkan kelemahan.
“Koneksi apapun yang kamu maksud, itu nggak tepat,” jawabku, kali ini lebih tegas. “Aku punya hidup, aku punya pernikahan, dan aku nggak mau mempertaruhkan itu.”
Senyumnya semakin lebar, tak sedikit pun goyah.
“Siapa bilang harus mempertaruhkan apa-apa?” balasnya, suaranya sarat godaan. “Kadang, nggak ada salahnya menikmati sedikit godaan. Hidup ini singkat, Minji.”
Ucapannya membuat bulu kudukku meremang saat ia semakin dekat.
“Aku rasa kamu lupa sesuatu,” bisiknya, napasnya hangat di telingaku.
Aku menelan ludah, jantungku berpacu.
“Apa?” tanyaku pelan.
Senyum Haerin kembali muncul, penuh arti, saat ia membisikkan jawabannya lebih dekat lagi.
“Hari ini hari Jumat,” katanya pelan—kata-katanya membuatku merasakan gelombang antisipasi yang tiba-tiba menyerang.
Tbc
YOU ARE READING
KETERLAMBATAN | Catnipz
FanfictionMinji, seorang perawat berdedikasi di sebuah rumah sakit bergengsi di Korea, menjalani jadwal padat, bekerja tekun dari pukul 9 pagi hingga 5 sore. Suaminya, seorang editor video di perusahaan ternama Hybe Entertainment, sama sibuknya dengan pekerja...
Menyusup ke Dalam Diriku
Start from the beginning
