Minji, seorang perawat berdedikasi di sebuah rumah sakit bergengsi di Korea, menjalani jadwal padat, bekerja tekun dari pukul 9 pagi hingga 5 sore. Suaminya, seorang editor video di perusahaan ternama Hybe Entertainment, sama sibuknya dengan pekerja...
Suara di rumah sakit adalah sebuah simfoni kehidupan dan ketidakpastian, sekaligus menenangkan namun melelahkan. Setiap anggota staf memakai “suara kerja” profesional mereka — sebuah kepura-puraan menenangkan untuk para pasien yang menunggu. Tapi saat aku duduk di sana, di tengah hiruk pikuk rumah sakit, aku menunggu sesuatu yang berbeda sama sekali — dipanggilnya namaku sendiri.
Pekerjaanku, di permukaan, terlihat sederhana, tapi di dalamnya tersembunyi kerumitan yang hanya sedikit orang benar-benar paham. Aku menghabiskan bertahun-tahun belajar tekun di Universitas Seoul, mendalami seluk-beluk dunia medis. Aku menguasai banyak disiplin: bergelar dokter gigi, psikiater, bahkan ahli bedah jantung. Singkatnya, aku sangat berpendidikan — dan diam-diam aku sering merasa bahwa dunia kerja bukanlah lingkungan yang sulit untuk orang dengan kemampuan sepertiku.
Kamu mungkin mengira dengan kualifikasiku, aku akan selalu sibuk, menolong banyak orang setiap hari tanpa henti. Kenyataannya justru sebaliknya. Sebagian besar hari, aku hanya berharap ada “keajaiban” — meski dalam konteks pekerjaanku, keajaiban itu berarti terjadinya peristiwa besar yang biasanya berakhir buruk. Jadi, kalau dipikir-pikir, tugasku jauh lebih rumit daripada yang terlihat.
Saat memikirkan hal-hal ini, aku tak bisa menghindar dari pertanyaan yang menggantung di pikiranku: Harus apa? Pertanyaan itu terus menggema, seperti suara rumah sakit yang menenangkan sekaligus melelahkan.
💉❤🩺
Perjalananku menuju tujuan terasa anehnya menenangkan — jeda singkat dari kekacauan hidup yang biasa. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di setir, leherku yang tegang mengeluarkan bunyi retakan kecil saat aku meregangkan otot. Secara emosional, aku tak terlalu stres minggu ini, tapi aku jelas butuh sesuatu untuk menghilangkan rasa jenuh.
Begitu sampai di lokasi yang tak mencolok itu, aku turun dari mobil dan melangkah masuk. Dari luar, bangunan ini sama sekali tak memberi petunjuk tentang apa yang ada di dalam. Tapi interiornya bercerita lain.
Aku tak repot-repot membiarkan asisten mengambil mantelku; dia sudah cukup mengenalku. Dia menyukai ketika aku mengenakan seragam medis, dan aku juga tahu itu. Aku memberi senyum sopan kepada resepsionis — seorang wanita dengan nama Korea yang saat itu entah kenapa tak kuingat. Dia membalas senyum itu, tatapannya menunjukkan rasa akrab yang tak diucapkan.
“Seperti biasa untuk hari ini?” tanyanya dengan senyum sopan yang sama. Aku hanya mengangguk, lalu dia menyerahkan sebuah kunci. Saat mengambilnya, mataku sempat menangkap tanda-tanda kemewahan di sekitarku — lantai marmer dan lampu LED tersembunyi yang memancarkan aura tenang, meski tujuan tempat ini jauh dari sekadar relaksasi.
Menyusuri jalur yang terang, aku berbelok ke kiri dan berjalan di koridor panjang. Dindingnya dipenuhi karya seni pilihan, masing-masing tampak dipasang untuk menambah suasana. Semua terasa tertata rapi, seakan memang dibuat untuk menarik dan mempertahankan rasa penasaran.
Setelah terasa seperti berjalan lama, aku sampai di pintu nomor 435. Dengan sedikit rasa antisipasi, aku memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya. Namun, apa yang kulihat di balik pintu itu membuatku tertegun.
Saat pintu terbuka, napasku tercekat. Dia memang cantik — sangat cantik — tapi dia bukan Jiyeon, orang yang kuharapkan ada di sini. Dia duduk santai bersila di tepi ranjang, di dalam ruangan yang berbeda dari semua yang pernah kulihat di tempat ini.
Ruangan itu didekorasi dengan indah, memancarkan kemewahan. Cahaya temaram yang lembut menyelimuti furnitur mewah. Kain-kain berkualitas menghiasi setiap sudut: tirai beludru, bantal hias dengan bordir rumit. Dindingnya ditempeli karya seni halus, dan aroma samar yang menenangkan serta eksotis memenuhi udara.
Tatapan matanya bertemu dengan tatapanku saat aku berdiri di ambang pintu. Keningku berkerut bingung. Sepertinya ekspresiku membuatnya terhibur, karena dia mengeluarkan tawa kecil disertai senyum tipis, matanya berkilat penuh rasa geli.
Akhirnya aku menemukan suaraku dan membuka mulut, meski nada bicaraku terdengar ragu. “Kamu… apa tidak salah ruangan?” tanyaku, sedikit terbata. Kenapa malah aku yang gugup? pikirku.
Dia meluruskan kakinya, lalu berdiri dengan anggun, telapak kakinya telanjang di lantai, hanya mengenakan jubah yang memberi kesan misterius. “Kamu Kim Minji, kan?” tanyanya, suaranya tenang dan rendah, nyaris selembut beludru. Aku mengangguk, masih belum paham dengan situasi aneh ini.
Dia tersenyum miring, kilatan main-main di matanya. “Wow, Kim Minji asli. Bahkan kamu nggak berusaha bikin nama samaran?” tanyanya sambil tertawa kecil, benar-benar terlihat terhibur. Keningku kembali berkerut, mencoba memproses pertemuan yang membingungkan ini.
Dia menatapku lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius, matanya mengandung sedikit aura menekan. “Kamu itu terkenal sekali, kamu sadar nggak?” katanya, lalu tertawa ringan yang indah. “Kalau orang tahu kamu datang ke tempat ini,” lanjutnya, suaranya memadukan godaan dan peringatan, “kira-kira apa kata media?” tanyanya terus terang. Aku hanya mengangkat bahu, masih berusaha memahami situasi yang rasanya tidak nyata ini.
Dia melangkah mendekat dengan gerakan terukur, membuat bulu kudukku meremang. Aku berdiri terpaku, merasakan ketegangan di udara seperti badai yang akan datang. Meski tingginya sedikit di bawahku, dia memancarkan aura berkuasa yang membuatku merasa kecil di hadapannya. Tatapan kami terkunci, dan sesaat rasanya kami setara.
Lalu, dengan gerakan cepat dan tegas, dia meraih ke belakangku dan menutup pintu dengan keras. Aku sedikit tersentak kaget mendengar suara itu. Dia tersenyum, suaranya selembut sutra, “Aku memang di tempat yang benar, Kim Minji.”
Bibirku mengatup rapat, pikiranku berputar mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Ekspresinya yang mengerucutkan bibir membuatku terdiam. Lalu kesadaran itu datang — Ini bukan ruanganku.
Sebelum sempat meminta maaf dan mundur, aku berucap pelan, “Ah, maaf… Apa aku salah masuk? Aku nggak bermaksud mengganggu,” nada suaraku rendah dan penuh penyesalan. Sebenarnya aku tahu betul ruangan ini — yang selalu kudatangi tiga malam seminggu, yang kubayar, yang selalu bisa aku akses. Tapi entah kenapa, kehadirannya membuatku tidak ingin berdebat. Aku bahkan rela melewatkan sesi malam ini jika itu keinginannya.
Wajahnya tetap sulit dibaca saat dia menyipitkan mata, dan tiba-tiba, tanpa kuduga, aku sudah berada di lantai. Dia menendang bagian belakang kakiku saat aku berbalik, membuatku jatuh berlutut. Aku menahan tubuh dengan kedua tangan, lalu bangkit sedikit, masih bingung dan pusing. Apa yang barusan terjadi?
Dia berjalan mendekat, berdiri di belakangku, lalu menutup pintu sekali lagi. “Nah, begitu lebih baik,” ucapnya dengan nada lembut namun penuh kuasa. “Kamu ada di tempatmu yang seharusnya.”
Keningku kembali berkerut, mencoba memahami arti kata-katanya yang penuh teka-teki. Tapi sebelum sempat memikirkan lebih jauh, dia mengucapkan kalimat terakhir yang membuat mataku terbelalak. “Berlututlah,” ujarnya pelan, seolah hanya gumaman.
Berbagai emosi bercampur di dalam diriku, membuat dadaku terasa sesak.
Tbc
Cerita ini sepenuhnya asli dan milik sang author Petrainmars. Saya harap kalian semua menikmatinya. Menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah hal yang terhormat yang saya lakukan kali ini, jika ada kesalahan kata. Mohon memaklumi-nya, terimakasih.
Selamat menikmati!
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
ps: saya sudah mendapatkan izin dari sang author <3