Bab 3.3: Aku tak peduli lagi
Saat aku mengemudi pulang, pikiranku dipenuhi oleh sosok pesulap misterius bernama Haerin, dan semua pengalaman aneh yang kualami saat bersamanya. Aku mulai yakin—dia entah bagaimana terkena kutukan, dan kemunculannya dalam hidupku bukanlah kebetulan semata.
Aku terjebak dalam pergulatan batin yang aneh. Di satu sisi, ada dorongan kuat untuk menemuinya, seperti yang sudah kupikirkan sebelumnya. Seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarikku ke arahnya. Tapi di sisi lain, pikiranku yang rasional menahan, menyuruhku menjauh, menghindari wanita penuh teka-teki yang memicu rasa penasaran sekaligus kegelisahan dalam diriku.
Ini seperti pertempuran sengit antara pikiran dan tubuhku—hasrat dan rasa ingin tahu menarikku ke satu arah, sementara rasa takut menarikku ke arah lain. Ketidakpastian itu terus menggerogoti pikiranku, membuat rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Aku tak bisa membiarkan misteri tentang Haerin tetap menggantung; aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan tekad bulat, aku memutuskan untuk berbalik arah. Aku membelokkan mobil menuju tempat terakhir aku bertemu Haerin. Sepanjang jalan, jantungku berdebar campur aduk—antara gugup dan tekad kuat untuk menemuinya.
Aku tahu kali ini aku tak boleh lagi bersikap takut atau ragu seperti sebelumnya. Aku harus berani, harus tegas, dan menuntut jawaban darinya. Saat mobil berhenti di depan tempat itu, aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk apapun yang akan terjadi. Keputusan untuk menemuinya adalah pilihanku sendiri, dan aku siap menanggung semua konsekuensinya, apapun itu.
Bangunan itu berdiri megah di depanku—sebuah tempat yang telah menjadi titik pusat segala hal aneh dalam hidupku. Tempat di mana sihir dan ilusi bercampur dengan kenyataan, tempat di mana Haerin meninggalkan jejak misterinya. Aku memarkirkan mobil, kembali menarik napas panjang, dan menguatkan tekad. Aku akan mencari jawaban, dan mengakhiri semua misteri yang telah membelit hidupku.
Saat aku memasuki gedung itu, suasananya terasa berbeda dari kunjungan-kunjungan sebelumnya. Ada hawa yang membuat jantung berdegup lebih kencang, seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Aku bertanya-tanya, pertemuan seperti apa yang akan menungguku kali ini, dan apakah Haerin akan ada di sana.
Semakin jauh aku melangkah, rasa gelisah itu makin kuat, bercampur dengan rasa penasaran yang membuat dadaku terasa bergetar. Rasanya seperti dinding-dinding gedung ini menyimpan rahasia dan bisikan, dan aku berada di ambang untuk mengungkap semuanya.
Begitu masuk ke ruangan yang pernah menjadi tempat pertemuan kami sebelumnya, aku langsung bertatapan dengan penyihir misterius itu. Haerin duduk di tempat biasanya, dengan senyum mengetahui di bibirnya, seolah ia memang sudah menungguku sejak awal.
Ruangan itu terasa penuh dengan ketegangan yang tak terucap, seakan menyimpan jawaban dari semua misteri yang belum terpecahkan. Aku menatap Haerin dengan campuran tekad dan rasa ingin tahu. Kali ini, aku siap untuk menghadapinya dan menuntut kebenaran, apapun itu.
"Selamat datang kembali," sapa Haerin dengan tatapan nakal saat aku melangkah masuk. Aku meletakkan tas punggungku dan langsung to the point. "Kita perlu bicara," ucapku tegas, suara yang sudah lama mengumpulkan keberanian.
Haerin memasang wajah polos pura-pura tidak tahu. "Tentang apa?" tanyanya. Kepura-puraannya itu hanya membuat tekadku semakin kuat. "Kamu tahu," jawabku singkat tapi penuh tekanan.
Dia tersenyum sambil bersandar santai di kursinya, seperti sedang menikmati permainan. "Coba ceritakan," pancingnya, matanya tak lepas menatapku. Aku mencari kata-kata yang pas untuk menyalurkan rasa kesalku, rahangku mengeras menahan emosi.
"Kamu harus berhenti menggangguku," kataku tegas. Haerin malah menjawab santai, "Kamu sudah bilang itu sebelumnya," ucapnya dengan nada mengejek seperti sedang menggoda anak kecil. Amarahku mulai memuncak.
"Apa pun... mantra yang kamu pakai padaku, hentikan," desakku, kali ini suaraku mulai terdengar terdesak. Tapi Haerin tetap tenang. "Aku nggak pakai mantra, cuma trik sulap. Ilusi, kalau kamu mau," jawabnya sambil tersenyum miring. Kata-katanya membuatku ragu, dan kebingungan itu justru menambah rasa frustasi.
Lalu dia berkata sesuatu yang tak kuduga. "Tampar aku, kalau itu bisa melampiaskan rasa kesalmu," ucapnya, seperti menantang. Mataku terbelalak kaget. "Kenapa aku harus melakukan itu?" tanyaku.
Dengan senyum licik, ia semakin memprovokasi. "Di sini, sekarang. Satu tamparan. Kamu bisa," desaknya. Amarahku hampir mendorongku untuk melakukannya, tapi tepat saat tanganku terangkat, pintu tiba-tiba terbuka dengan keras.
Aku berbalik, jantungku berdegup kencang, lalu pintu itu tertutup lagi di belakangku. Saat aku mencari-cari Haerin, dia sudah lenyap entah kemana. "Hei, jangan sembunyi dari aku," seruku kesal.
"Oh, aku takut sekali, 5 juta kali lipat," jawabnya dengan nada mengejek, suaranya bergema entah dari mana. Aku berputar-putar mencari sumber suaranya, merasa bingung dengan kemampuannya menghilang dan muncul sesuka hati.
Tiba-tiba Haerin muncul kembali. "Bagaimana kamu melakukan itu?" tanyaku tak tahan, rasa penasaranku mengalahkan segalanya. Dia hanya mengangkat bahu. "Latihan," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Dia mendekat, senyumnya berubah lebih serius. "Kenapa kamu tidak membiarkan aku memakai kamu saja?" bisiknya, sambil mengelus rambut yang terlepas dari ikat ponytail kerjaku. Aku menegang dan merinding karena sentuhannya. "Karena aku punya kehidupan, tidak seperti kamu," jawabku ketus, mencoba mempertahankan jarak.
“Aku jug punya kehidupan,” Haerin menegaskan dengan nada yang lebih serius, usahanya untuk menunjukkan kalau dirinya normal terdengar tulus. Ekspresinya berubah dari manis menjadi lebih serius.
Mendengar itu, aku hanya bisa menyunggingkan senyum tipis, menyadari bahwa aku menemukan celah di balik misterinya. Tapi kata-kata yang keluar dari mulutku berikutnya justru mengejutkan kami berdua.
“Kalau begitu, buktikan.” Tantangan itu menggantung di udara, membawa beban yang tak terduga dan menambah ketegangan di ruangan.
Ketukan pintu yang tegas tiba-tiba terdengar, menandakan waktu kami sudah habis. Aku tersenyum mendengar Haerin menggerutu kesal saat aku berjalan keluar. Begitu meninggalkan ruangan penuh misteri itu, aku langsung menuju mobil, bersandar di setir, tanganku sedikit bergetar memikirkan pertemuan aneh tadi. Rasa lelah menyelimuti tubuhku, dan aku benar-benar butuh tidur.
Keesokan harinya, aku mendapat kabar baik — aku tidak dipanggil untuk bekerja. Hari itu punya arti khusus: hari pertunjukan sulap. Manajer departemenku sudah memberitahuku sebelumnya, dan tak lama kemudian aku bersama beberapa rekan kerja berkumpul di lokasi acara, sebuah teater megah.
“Aku belum pernah masuk teater,” gumamku pelan saat kami mendekati pintu masuk. Danielle, rekan kerjaku, memberikan senyum menenangkan. “Jangan sampai ketinggalan,” ujarnya sambil berjalan di depan, menembus kerumunan.
Begitu masuk, suasana di dalam sungguh memukau. Atmosfernya begitu hidup, dan aku tak bisa menahan rasa antusias yang mulai tumbuh. Orang-orang lalu-lalang sambil membawa sampanye, dan aku menerima segelas dengan ucapan terima kasih sopan. Aku menyesapnya pelan, menikmati momen itu.
Tiba-tiba, seorang pelayan berdiri di atas meja, menarik perhatian semua orang. Dia mengumumkan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Waktu sudah berjalan sekitar 30 menit, jadi aku memang sudah menduga acaranya akan segera mulai. Kami semua berbaris masuk ke dalam teater, masing-masing diberi brosur. Aku tidak membukanya, lebih fokus menanti penampilan yang akan disajikan.
Setelah pembukaan, tirai merah perlahan terbuka, memperlihatkan panggung. Aksi pertama cukup menghibur, dipenuhi trik sederhana seperti memilih kartu dari penonton dan ilusi memukau. Dalam hati, aku berharap tidak dipanggil untuk ikut serta.
Namun pada babak kedua, ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku menunduk sebentar untuk membalas email, lalu kembali menatap panggung — dan terkejut bukan main. Sosok di atas panggung ternyata adalah Kang Haerin, mengenakan kostum mempesona, memancarkan aura yang sulit dijelaskan. Mulutku sedikit terbuka, pikiranku penuh tanda tanya, tak percaya dengan apa yang kulihat.
Tbc
Happy birthday to me!
YOU ARE READING
KETERLAMBATAN | Catnipz
FanfictionMinji, seorang perawat berdedikasi di sebuah rumah sakit bergengsi di Korea, menjalani jadwal padat, bekerja tekun dari pukul 9 pagi hingga 5 sore. Suaminya, seorang editor video di perusahaan ternama Hybe Entertainment, sama sibuknya dengan pekerja...
