Detail-detail rumit pada liontin itu seakan menceritakan sebuah kisah—sebuah cerita yang terjalin di dalam setiap ukiran halusnya. Ada pola-pola samar yang menggambarkan keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan. Dari kerapiannya, jelas pembuatnya adalah tangan yang terampil, mungkin seseorang yang menuangkan emosinya ke dalam karya ini.

Hyewon memecah keheningan.
“Kalau kamu tidak mengenalnya, berarti ini benar-benar misteri. Mungkin nanti ada orang yang mencarinya.”

Aku mengangguk, mengiyakan kemungkinan itu.
“Ya, mungkin. Atau bisa jadi ini bagian dari teka-teki yang belum waktunya dipecahkan.”

Permukaan logam liontin itu memantulkan cahaya lampu di ruangan, memberikan kilau yang selaras dengan aura misterius yang dimilikinya. Liontin itu terasa seperti teman bisu bagi pikiranku, sebuah pengingat nyata bahwa ada rahasia yang memilih waktu mereka sendiri untuk terungkap.

Saat bersiap pulang, aku berterima kasih pada Hyewon atas bantuannya, dan berjanji akan kembali jika ada informasi lebih lanjut. Udara malam kembali menyambutku saat aku melangkah ke jalan, membawa pulang bukan hanya liontin itu, tapi juga rasa penasaran yang semakin tumbuh akan rahasia yang mungkin menanti di depan.

Dalam perjalanan menuju mobil, getaran lembut di saku membuatku berhenti sejenak. Setelah duduk di kursi pengemudi, aku mengambil ponsel dan melihat pesan dari nomor tak dikenal: “Kamu sudah dapat hadiahnya?”

Aku menghela napas. Potongan-potongan teka-teki mulai terasa cocok.
“Aku sudah mengembalikannya,” balasku, mencoba memberi kesan kalau urusan ini sudah selesai.

Hening sebentar, lalu muncul balasan: “Aneh sekali. Aku ingat kamu pernah bilang, ‘Aku akan menerima apa pun yang kamu kasih.’”
Jantungku terasa berat, menyadari makna dari kata-kata yang pernah aku ucapkan dulu.

Aku menyusun balasan dengan hati-hati, menekankan bahwa aku butuh batasan dan jarak. Aku mengingatkan bahwa aku sudah menikah, dan apa yang pernah terjadi di antara kami tidak boleh terulang.
Pesanku berbunyi:

> “Aku menghargai pemberianmu, tapi aku sudah mengembalikannya. Aku harus jelaskan bahwa aku menikah, dan apa yang terjadi antara kita nggak boleh terulang lagi. Kita butuh batasan dan jarak. Semoga kamu mengerti.”

Perjalanan pulang terasa hening. Ponsel tetap diam sampai aku tiba di lingkungan rumah. Sesaat sebelum memarkir mobil, sebuah notifikasi muncul:
“Aku di depan pintumu.”

Jantungku berdegup kencang saat aku melihat ke depan rumah. Di bawah cahaya temaram, dia berdiri di sana—Haerin—siluetnya terlihat jelas namun penuh tanda tanya. Aku sempat bimbang: harusnya aku langsung pergi atau menemuinya? Tapi rasa penasaran menang.

Udara malam terasa dingin saat aku keluar dari mobil, menyilangkan tangan di dada untuk menghangatkan diri. Haerin tersenyum miring, matanya berkilat memancarkan campuran nakal dan hasrat.
“Kangen aku?” godanya.

Aku menghela napas panjang.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku agak ketus.

Dia terkekeh pelan, melangkah lebih dekat.
“Hanya mau lihat kabarmu,” jawabnya santai, seolah itu hal paling wajar di dunia.

“Kamu sudah lihat. Sekarang pulanglah,” jawabku tegas.

Dia memiringkan kepala, senyum bermain di bibirnya.
“Kenapa buru-buru? Kita kan punya malam yang menyenangkan tempo hari. Aku pikir kita bisa melanjutkan ‘petualangan’ itu.”

Aku menggertakkan gigi, kesabaranku mulai habis.
“Malam itu tidak akan terulang. Aku butuh ruang, Haerin. Aku punya hidup, aku punya pernikahan,” tekanku kata demi kata.

Senyumnya tak luntur. “Ruang? Pernikahan? Kamu ini terlalu mudah ditebak, Minji.”

Dia kembali maju, membuat jarak di antara kami semakin tipis. Tubuhku merespons dengan merinding, tapi aku tetap berdiri di tempat.
“Aku serius. Aku tidak mau kamu mengganggu hidupku,” ucapku keras.

Ekspresinya berubah tipis, matanya sedikit menyipit.
“Aku tidak mengganggu. Aku cuma menawarkan sesuatu yang luar biasa,” bisiknya pelan, suaranya memikat dan berbahaya.

"Tidak ada yang bisa kamu tawarkan yang aku mau," aku membalas tegas. Haerin mengangkat alisnya, kilatan tantangan terlihat di matanya.

"Yakin soal itu?" bisiknya, napasnya terasa di udara. Sebelum aku sempat menjawab, dia melangkah mundur, senyumnya semakin lebar. "Baiklah, Minji. Aku akan menghormati ‘ruang’ milikmu. Tapi jangan kaget kalau suatu saat kamu malah merindukan sesuatu yang luar biasa."

Dengan ucapan penuh teka-teki itu, Haerin berbalik dan menghilang ke dalam malam, meninggalkanku berdiri di sana dengan campuran perasaan lega dan keinginan yang aneh. Meski dia sudah pergi, keberadaannya masih terasa, seperti bayangan yang mengikat hidupku dalam jaring yang rumit.

Aku berdiri beberapa saat, menatap ke arah Haerin menghilang, merasakan dingin merayap di punggungku. Pertemuan itu membuatku lebih gelisah dari sebelumnya, bertanya-tanya seberapa besar kendali yang dia punya atas benang-benang rapuh dalam hidupku.

Dengan tarikan napas panjang, aku mencoba mengusir rasa tidak nyaman dan masuk ke dalam rumah. Pintu berderit saat dibuka, dan aku mendapati diriku berada di ruang yang biasanya terasa aman. Tapi entah kenapa, kali ini tidak lagi terasa seperti tempat berlindung. Kehadiran Haerin seakan masih menggantung di udara, seperti tamu tak diundang yang enggan pergi.

Saat berjalan melewati setiap ruangan, perasaan seperti sedang diawasi terus menghantuiku. Bayangan-bayangan di sudut terlihat bergerak, dan setiap suara berderit atau gemerisik membuat rasa waspada semakin kuat. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasiku, tapi senyum tipis Haerin yang begitu mengganggu sudah tertanam di pikiranku.

Tak sanggup menghilangkan semua ini, aku memutuskan untuk mandi air hangat, berharap bisa membasuh ketegangan yang menempel. Air mengalir di tubuhku, tapi bukannya tenang, pikiranku malah terus memutar ulang pertemuan terakhir dengan Haerin. Rasanya seperti keberadaannya sudah meresap ke setiap sudut pikiranku.

Setelah mandi, aku berbaring di tempat tidur, tapi tidur tidak kunjung datang. Jam terus berdetak, cahaya lampu meja yang redup jadi saksi panjangnya malam ini. Ketidakpastian terasa berat di kegelapan, membuatku mempertanyakan semua keputusan yang membawaku sampai ke titik ini.

Saat fajar menyingsing, aku sadar kenyataan pahitnya: Haerin kini sudah menjadi bagian yang tak terhapuskan dari hidupku—bayangan yang mengintai di tepian, menunggu waktu yang tepat untuk muncul lagi. Batas antara keinginan dan rasa takut semakin kabur, meninggalkanku terjebak dalam rasa keterikatan yang enggan melepaskan.

Tbc

KETERLAMBATAN | CatnipzWhere stories live. Discover now