Enam belas

2.3K 92 5
                                    

"Jadi ini yang kau lakukan setiap hari, hah!?" teriak seseorang dari balik ruangan Rachel.

"Miko... Ini tidak seperti yang kau kira. Aku baru saja menemani Nathan meeting dengan klien." sanggah Rachel cepat.

Gadis itu tampak sekali ingin menjaga perasaan Miko tapi laki laki itu tak mempedulikannya.

"Nathan?! Bahkan kau memanggilnya dengan sebutan namanya? Sedekat itukah kalian, hah!!?" cemooh Miko tak suka.

"Saya rasa ruanganmu bukan di sini, jadi jangan pernah membuat keributan di sini." sela Nathan dingin.

"Oh... Jadi mentang mentang kau atasan di sini bisa seenaknya merayu pacar orang?" sindir Miko terang terangan.

"Miko, cukup! Sebaiknya kamu pergi sekarang." ujar Rachel dingin. Bahu gadis naik turun mencoba menahan amarahnya.

"Jadi kamu lebih memilih dia? Dasar perempuan matre!"

Plakk!!

Miko berseru keras seraya mendaratkan tamparan di pipi Rachel.

"Aahh..." jerit Rachel kesakitan seraya memegang pipinya yang terasa memanas.

"Dasar pecundang!" teriak Nathan marah.

Bugg!!

Sebuah bogem mentah dilayangkannya ke perut Miko hingga laki laki itu terhuyung.

"Pergi dari tempat ini sebelum kesabaran saya habis!" ujar Nathan tajam.

"Miko, kita putus!" ucap Rachel dingin.

"Satu lagi, kau dipecat dari perusahaan ini!" tambah Nathan kemudian.

Miko menatap tajam ke arah Nathan. Kemudian menyeret langkahnya dengan terbungkuk bungkuk. Hatinya dipenuhi dendam pada Nathan.

"Yakin kau baik baik saja, Rachel?" tanya Nathan khawatir.


Laki laki itu sudah menghentikan mobilnya sejak setengah jam yang lalu. Namun Rachel seolah masih enggan untuk beranjak dari situ. Memang sejak kejadian di kantor tadi, gadis itu lebih banyak diam. Tak menjadi soal untuk Nathan karena dia cukup sabar menunggu sampai Rachel bicara.

"Maaf sudah melibatkanmu dalam masalahku, Nathan." ujar Rachel akhirnya.

"Tak perlu minta maaf. Secara tak langsung akulah penyebab memburuknya hubunganmu dengan Miko." sahut Nathan pengertian.

"Oh Nathan, aku tidak habis pikir Miko bisa sepicik itu." ujarnya frustasi, tangan Rachel memegang keningnya yang memanas.

"Kamu sudah mengambil keputusan yang tepat kurasa." sahut Nathan lembut.

"Tapi aku masih tidak yakin dengan keputusanku untuk mengakhiri hubungan kami." ujar Rachel seraya menggelengkan kepalanya bingung.

"Cukup Rachel! Sudah cukup kau korbankan perasaanmu untuknya, tapi dia sama sekali tak ada perngertian bukan!?" seru Nathan marah.

Sontak Rachel berpaling ke arah Nathan. Gadis itu menatapnya tajam. Nathan merasakan tatapan Rachel mampu melubangi kepalanya, hingga laki laki itu menyadari kemarahannya salah sasaran.


Nathan sendiripun tak habis pikir, kenapa ucapan Rachel barusan membuatnya marah. Bukankah Rachel lebih tahu keputusan apa yang tepat untuk dirinya. Nathan segera menyesali ucapannya tapi dia tahu itu terlambat.

"Lalu kenapa kau marah, Nathan?!" Rachel setengah teriak.

"Maaf, bukan maksudku..." Nathan kehabisan kata kata.

"Aku berhak atas keputusanku, aku berhak atas diriku sendiri. Jadi jangan pernah ikut campur dengan urusanku, Nathan. Terima kasih sudah mengantarku." ujarnya dingin sebelum keluar dan membanting pintu mobil dengan keras.

"Rachel, maafkan aku. Aku hanya mengkhawatirkanmu." teriak Nathan setelah mampu bicara.

Rachel berhenti sejenak begitu mendengar teriakan Nathan. Kemudian tanpa menoleh gadis itu mengatakan sesuatu yang tak ingin Nathan dengar.

"Tak perlu, aku sudah terbiasa sendiri." sahut Rachel tanpa menoleh kemudian berlalu tanpa mempedulikan Nathan.



SUMPAH, I LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang