Rasanya Melani sudah tak sanggup untuk kembali ke rumah. Jadi, ia memilih tidak langsung pulang dan duduk di kantor yang berada di tempat kursus sembari termenung. Ia masih terbayang akan kalimat yang Dea bisikkan tadi. Meski mencoba abai, tapi nyatanya ia terus memikirkannya. Lagipula, perempuan mana yang akan diam jika mendengar suaminya berhubungan dengan perempuan lain? Terlebih jika mereka memang memiliki hubungan sebelumnya.
Perempuan dua puluh tahunan itu mengelus perutnya yang mulai menonjol itu. Berharap jika sang bayi akan memberinya jawaban atas kegelisahan hati yang dialaminya. Kalaupun ia harus pulang, dia melakukan semua ini semata-mata demi bayinya. Tak ada lagi alasan lain. Dirinya harus belajar tegas dan tak mudah kasihan.
Di tengah kekalutan kepalanya, Melani membuka ponsel miliknya. Lalu, salah satu status di aplikasi pesan menarik perhatiannya. Ketika dibuka, ia menyesali tindakannya itu.
Satu persatu mulai kembali pada tempatnya.
Itu adalah caption pada foto yang menampilkan ketiga anaknya bersama dua orang tua Dea.
Jika Dea bertekad untuk kembali pada Gano, maka ia akan memberikan jalan yang lebar. Jika godaan itu berbalas, artinya Gano memang bukan miliknya. Melani bukan tipikal perempuan yang mempertahankan apa yang tidak ingin dipertahankan. Lagipula, dia sudah lelah menghadapi keempat orang itu. Dia butuh istirahat demi bayi yang dikandungnya. Perkelahian batin antara dirinya dan mantan istri suaminya itu, dapat berubah menjadi perkelahian fisik kapan saja. Melani bisa berubah menjadi singa ataupun macan jika diperlukan. Namun untuk sekarang, ia harus mundur untuk memastikan bahwa yang akan ia lakukan kelak, tidak sia-sia.
"Halo, Mbak?" Ujar Melani dengan telepon yang menempel pada telinganya. "Aku boleh nginep di rumah, Mbak kan?"
"Boleh, tapi kenapa?"
Entah mengapa, saat mendengar kata 'kenapa' itu membuat seluruh pertahanan Melani menghilang. Perempuan itu terisak sembari menjelaskan permasalahannya secara singkat. Bagaimanapun buruknya Gano, pria itu masih berstatus sebagai suaminya. Ia masih harus menjaga nama baik pria itu.
•••
"Kamu beneran gak mau pulang aja, Mel?" Tanya seorang perempuan yang merupakan kakak Melani.
"Belum bukannya gak, Kak."
"Semalam Ibu sama Ayah nelponin Kakak."
"Terus, Kak Cel bilang apa?"
"Kakak jawab jujur lah." Celya mengambil bayi dari gendongan Melani. "Kamu kayak gak tahu Ibu aja, Mel. Bisa stress dia kalau gak tahu kabar anaknya."
"Tapi, Mbak suruh gak kasih tahu siapa-siapa kan?"
"Iya."
Melani mengangguk. "Yaudah, kalau gitu kita kesana aja sekalian ambil baju aku di rumah."
Meski penasaran, tapi Celya menghargai privasi adiknya. Dua puluh tahun hidup bersama sang adik, ia jelas memahami bahwa Melani membatasi dirinya. Bukan berarti ia tak suka bercerita, Melani cukup terbuka tapi saat ia menutup mulutnya mengenai suatu hal, maka ia akan terus tutup walaupun ditekan dan dipaksa untuk bersuara. Melani akan bercerita dengan sendirinya jika mau.
Bahkan ketika mereka tiba di rumah kedua orang tuanya yang dikatakan perempuan itu adalah baik-baik saja. Mereka tak berada dalam perselisihan apapun. Ia hanya butuh suasana baru.
"Gak ada, Bu. Aku cuma bosen dan mulai kelelahan. Jadi, aku rasa aku butuh waktu sendiri." Itu yang dikatakan Melani ketika terus didesak.
"Tapi, suamimu itu nyari terus."
Melani mengedikkan bahu. "Biarin, biar dia tahu rasa ngurus anak sendirian."
"Sudahlah, lebih baik pisah kalau dia gak mau bantu ngurusin anaknya." Timpal Aji.
YOU ARE READING
One Plus Three
RomanceApa yang terjadi jika kamu harus menikah dengan tetanggamu sendiri? Terlebih, jika sesosok itu adalah pria dewasa dan seorang duda.
