Part 27

802 56 1
                                        

Haiiii!!
Duh, aku jadi hampir lupa update nih, padahal harusnya kemarin huhu. Maapin ya telat.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Ia merasa dibohongi dan Melani membencinya. Apa yang dikatakan teman-temannya benar. Dia tak seharusnya lengah dan percaya begitu saja. Bisa jadi selama ini ia dibohongi.

"Sial!" Maki Melani. Ia menggenggam ponsel di tangannya dengan kuat sampai-sampai kukunya memutih. "Gano, sialan!"

"Keluarga bahagia, heh?" Sinis Melani ketika mengingat caption status Dea. Ia benci semuanya. Dia benci dengan orang-orang di foto itu yang terlihat bahagia. Dia- "akh!" Dibantingnya ponselnya kuat ke lantai hingga layarnya retak.

Menekan amarahnya, Melani keluar dari kamar menemui Tian yang berada di teras bersama kakeknya. Dia memanggil putranya sebentar dan balita itu langsung masuk ke dalam rumah. Dia mati-matian menahan emosi yang menggebu-gebu di dada saat bertanya pada anak kecil itu.

"Tian..." Panggil Melani, "Tian sayang kan sama Mama?"

"Sayang."

"Sekarang jawab Mama ya, kemarin Tian kemana sama Kakak?"

"Kemarin pergi jalan-jalan sama Papa sama Mama Dea juga."

Hancurlah hati Melani. "Tian senang?"

"Senang, Ma. Kemarin dibeliin es krim sama Mama Dea."

Melani mengangguk, meski rasanya ia tak sanggup bergerak. "Ya udah, itu aja. Tian main sama kakek lagi ya."

"Iya."

Usai menanyakan itu, Melani kembali masuk ke dalam kamar. Ia menatap putranya yang tertidur di dalam box. "Kenapa kamu bawa anakku, Gano? Kenapa kamu biarkan dia masuk ke keluarga kamu, sialan!? Aku benci kamu!"

Selama beberapa jam itu dihabiskannya untuk menangis. Dia hanya keluar untuk memasak dan menghidangkannya ke meja. Beruntung tidak ada ibu mertuanya hari itu sehingga ia tidak perlu menjelaskan apapun. Setelahnya, ia kembali mengurung diri di kamar, menghindari semua orang di rumah itu. Dia bahkan tak menyambut anak-anaknya pulang seperti biasa. Hatinya terlalu hancur.

Melani terbangun saat telinganya mendengar suara motor memasuki halaman. Ia segera meraih ponselnya yang retak di lantai tanpa menghidupkannya, lalu meletakkannya di atas nakas. Melani membawa putranya duduk di taman di samping rumah. Dia sedang tak ingin berbicara dengan siapa pun. Dia bahkan tak menghiraukan panggilan Anin tadi. Dia hanya memiliki putranya di rumah ini.

Beberapa menit kemudian, ia mendengar suara langkah kaki di belakang. Dia tak menoleh dan terus menatap ke arah putranya atau sesekali ke arah bunga-bunga di pot. Jika Gano bisa menutupi kejadian kemarin, maka Melani akan bersikap tak terjadi apapun. Ia takkan menunjukkan kepeduliannya lagi. Kepercayaannya telah dirusak dan ia takkan memberi kesempatan yang sama lagi.

"Ponsel kamu kenapa, Sayang?" Tanya Gano seraya memegangi ponsel istrinya.

"Jatuh." Jawab Melani cuek dan datar.

"Kenapa bisa sehancur ini? Kamu pakai anti gores gak?" Melani memilih tak menjawab. "Sayang?"

"Gak tahu."

"Kamu kenapa?" Tanya Gano yang mulai merasa heran dengan nada istrinya.

Melani berdiri dari duduknya dan berbalik masuk ke rumah tanpa menatap suaminya sedikit pun.

"Sayang?" Gano menyentuh pundak istrinya.

Tanpa melirik tangan Gano yang berada di pundaknya dan tanpa mengatakan apapun, ia terus melangkah tak menghiraukan lelaki di belakangnya. Meninggalkan Gano yang kebingungan atas kesalahan apa lagi yang dibuatnya. Haruskah terus seperti ini?

Sisa hari itu dihabiskan Melani dengan menghindari Gano. Dia menyibukkan diri bertelepon ria dengan teman-temannya. Dia juga mengurangi intensitas kedekatannya dengan anak-anak Gano. Dia tak mau lagi bertahan jika pada akhirnya, dia akan ditinggalkan. Lebih baik ia yang meninggalkan lebih dulu karena jujur, ia sudah muak.

•••

Pria empat anak itu mengusap wajahnya kasar. Sudah dua hari ini istrinya tampak mendiamkannya, bahkan bukan hanya pada dirinya, tetapi semua orang di rumah, termasuk ketiga anaknya. Ia yakin pasti telah terjadi sesuatu. Tidak mungkin istrinya itu tiba-tiba marah tanpa sebab, tapi, bisa saja. Huh! Entahlah! Ia kembali mengacak rambutnya.

"Kusut amat rambut lo, PakPol!" Ujar seseorang yang membuat Gano menoleh. "Belum balik lo?"

Gano mendengus ketika mengenali orang di sampingnya. "Ngapain lo ke sini? Terjerat kasus maling ayam ya lo?"

"Daripada maling ayam, mending gue maling cewek."

"Masih ngeduda lo?" Gano tersenyum, lalu menabrakkan diri pelan pada teman lamanya itu.

"Kurang ajar ya lo, mentang-mentang sudah punya bini baru." Ujarnya tersindir, tapi kemudian menyeringai. "Gue perhatiin kayaknya lo menderita ya sampai mirip orang stres ngacak rambut sembarangan?"

Gano mengembuskan napas lelah. Saat diingatkan lagi dengan kondisi rumah tangganya, moodnya yang baru naik kembali terjun bebas. "Entahlah, gue capek ngadepin perempuan."

"Masih muda ya istri lo?"

Gano hanya tersenyum menanggapinya. "Lo sendiri gak capek ngeduda hampir sepuluh tahun?"

"Lebay lo! Gue baru delapan tahun."

"Ya kan gue bilang hampir." Gano menyenggol lengan teman lamanya itu. "Jadi, lo belum nikah lagi?"

"Udah."

"Kapan?"

"Baru beberapa bulan yang lalu."

"Dan?"

Pria itu berdecak. "Kepo banget sih lo dan gue ada di sini. Udah."

"Maksudnya lo di sini karena istri lo itu?"

"Hm."

"Lo apain dia?" Seru Gano terkejut. "Lo kdrt, Hen?"

Pria bernama Hendri itu mendengus. "Yang ada gue yang dikasarin. Gue yang jadi korban."

"Lah, terus kenapa lo disini?"

"Ya, gue khilaf. Gak sengaja karena dia mancing mulu."

"Dan dia jadiin itu buat ngelaporin lo ke polisi?" Terka Gano antusias.

"Hm."

"Gila!" Gano bertepuk tangan. "Seorang Hendri berhasil dikalahkan oleh seorang perempuan. Mana sikap sok jago lo dulu, heh?"

"Bacot lo!" Hendri mendengus kesal.

Gano terkekeh. "Lo maksa perempuan itu ya buat nikah sama lo?"

"Gue benci banget ya sama lo, Gan."

Tebakannya benar, oleh karena itu tawa Gano semakin meledak. "Kehilangan pesona lo, heh?"

"Kayak lo banyak yang mau aja. Gue yakin juga istri lo pasti ada alasan kenapa mau. Lo kaya gak, ganteng juga biasa aja, sudah tua pula."

Sialnya, kalimat itu berhasil memadamkan tawa Gano.

"Bener kan gue?" Ejek Hendri. "Jadi, istri lo masih muda juga, Gan?"

"Hm."

"Seberapa muda?"

"Paling baru 25."

"Sial! Hampir seumuran istri gue."

Gano tertawa miris mendengarnya. "Gue jadi penasaran nasib Ditto sekarang setelah ditinggal mati istrinya dulu."

"Heh, dia udah belasan tahun yang lalu nikah lagi."

"Jadi, cuma kita berdua ini yang begini?"

Hendri menarik tangan teman seperjuangan di masa sekolahnya itu yang sepertinya akan menjadi teman seperjuangannya juga saat ini. "Kita ngopi dulu."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 18 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

One Plus ThreeWhere stories live. Discover now