[PROLOG]

2.1K 151 25
                                        

Jayden selalu menyukai ketenangan rumah nenek dan kakeknya yang berada di desa kecil di pinggir ladang. Setiap liburan, sejak kecil hingga usianya yang kini menginjak delapan belas tahun, ia selalu kembali ke tempat itu.

Namun ada satu hal yang tak pernah berubah… seseorang yang terus berdiri di depan rumah kosong di ujung ladang, tepat di samping rumah tua milik nenek dan kakeknya. Seorang pria. Selalu sendiri. Selalu diam.

Awalnya Jayden mengira itu hanya kebetulan mungkin warga sekitar, atau seseorang yang sedang mengingat masa lalu. Tapi tahun demi tahun berlalu, dan setiap kali ia kembali ke desa itu, lelaki itu tetap ada. Sama seperti sebelumnya, berdiri di tempat yang sama, menatap rumah kosong yang katanya sudah puluhan tahun tak berpenghuni.

Anehnya, setiap kali Jayden bertanya kepada nenek dan kakeknya, mereka selalu terlihat kebingungan. "Rumah kosong mana, Jayden? Di situ nggak ada siapa-siapa, kok."

Tapi Jayden tahu apa yang ia lihat. Dan malam itu, saat rasa penasarannya mencapai puncak, ia mengambil senter kecil milik kakeknya dan diam-diam berjalan keluar rumah, menyusuri jalan setapak yang membelah ladang menuju rumah kosong itu.

Angin malam menusuk kulitnya, membuat bulu kuduknya merinding. Tapi matanya tak lepas dari sosok yang masih berdiri di sana, seperti biasa. Tegak, Hening, Tak bergeming.

"Permisi…" Jayden memanggil pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam desiran angin. Cahaya lampu senter menyorot lembut ke arah pria itu. Dan untuk pertama kalinya, lelaki itu tersentak, seolah baru sadar keberadaan Jayden. Perlahan, ia menoleh.

Jayden menahan napas.

Wajah lelaki itu tampak muda, bahkan nyaris manis. Kulitnya putih pucat, matanya berwarna hijau kecoklatan, seperti daun yang meranggas di awal musim gugur. Lehernya memperlihatkan bekas luka samar, seperti tergores sesuatu yang dalam. Rambutnya hitam kecoklatan, jatuh berantakan namun indah, dan pakaian yang ia kenakan tampak seperti busana tradisional Jepang, lusuh namun rapi.

Anehnya, Jayden tidak terkejut. Ia hanya merasa... tenang. Seolah memang sudah seharusnya malam itu mereka bertemu.

Sebaliknya, lelaki itu justru yang terlihat kaget. Matanya melebar, sejenak seperti bingung harus bicara atau tidak.

Jayden maju selangkah. "Kenapa… kenapa kamu selalu berdiri di sini? Setiap hari. Setiap tahun. Kamu nunggu seseorang?"

Lelaki itu memandang Jayden dalam diam. Lalu, dengan suara pelan, terbata, namun jelas, ia berkata, "Nama saya Rakuno. Haruka Rakuno."

Nada suaranya asing. Bahasa Indonesianya cukup lancar, tapi logat Jepangnya masih melekat. Dan saat ia mengucapkan namanya, Jayden bisa merasakan ada sesuatu yang jauh lebih dalam tersembunyi di balik nama itu. Sesuatu yang mungkin… sudah lama menunggu untuk ditemukan

"Kamu sudah lama dirumah ini?" Tanya Jayden, Namun laki-laki itu tetap diam.

Jayden masih menatap lelaki itu dalam kebisuan. Sorot matanya menuntut jawaban, tapi sosok bernama Rakuno itu hanya mengernyit bingung. Jayden mengulang pertanyaannya pelan, mencoba lebih jelas, lebih hati-hati, tapi tatapan Rakuno tetap sama, kosong, seolah kata-kata Jayden hanya angin lewat.

Jayden menelan ludah, sedikit frustasi. Dia nggak ngerti... Bahasa Indonesia? Tapi kenapa? Matanya menelusuri wajah pria itu, mengingat kembali setiap detil yang sejak tadi terasa tak biasa. Warna mata, postur, nada bicara, pakaian tradisional…
Tiba-tiba Jayden membeku. Tunggu. Orang ini Jepang, kan?

Dengan cepat, ia teringat sesuatu. Lima bulan kursus bahasa Jepang di kota—awalnya hanya iseng karena suka anime, tapi mungkin… itu bisa jadi satu-satunya jembatan sekarang.

Empty Watcher | Jaemren √Where stories live. Discover now