"Melani udah lama gak ke rumah. Terakhir mungkin empat hari yang lalu. Ada apa sampai kamu mencari dia di sini? Kalian ada masalah?" Ujar Ibu mertuanya penasaran. "Dia baik-baik aja kan?"
Gano menggeleng. "Gak ada apa-apa, Bu. Cuma gak biasanya Melani belum pulang jam segini."
"Kamu sudah hubungi dia?"
"Sudah, ponselnya aktif tapi gak diangkat."
"Gano.." panggil Ayah mertuanya. "Kamu tahu kan kalau Melani adalah anak saya yang paling rasional. Dia adalah anak yang kurang suka menunjukkan emosinya, dia selalu mengalah dengan saudarinya yang lain. Kalau dia menghilang seperti ini, saya yakin kalau terjadi sesuatu antara kalian." Pria akhir lima puluh tahunan itu menatap menantunya lekat-lekat. "Saya gak berniat ikut campur rumah tangga kalian, tapi kalau kamu sudah tidak bisa menghargai dia lagi. Kembalikan dia pada saya."
"Gano mengerti, Yah." Kata Gano, "hubungan kami baik-baik aja. Memang akhir-akhir ini kurang ngobrol karena hormon kehamilan Melani yang berubah-ubah cukup membuat kewalahan."
"Ibu gak tahu apakah hubungan kalian benar-benar baik saja seperti yang kamu katakan atau hanya kamu yang menganggap seperti itu." Timpal Tina. "Semua orang di sekitar sini jelas tahu kalau mantan istri kamu sering mampir dan membawa anak-anak."
"Bu, Dea cuma rindu sama anak-anak."
"Sampai setiap hari dan membuat Melani kesepian di tengah kehamilannya?" Sindir Tina, marah. "Gano, Ibu tahu ini dari tetangga. Bayangkan bagaimana perasaan saya mendengar kehidupan rumah tangga anak saya menjadi perbincangan publik. Rumah kita hanya berjarak beberapa rumah. Gosip dengan mudah menyebar dan ibu terima."
"Maaf, Bu." Lirih Gano menyesal. "Aku akan meminta Dea buat gak sering mampir."
"Bukan itu intinya, Gano!" Seru Tina marah. Ia mengembuskan napas dengan dada yag naik turun karena amarah. "Sudahlah, lupakan. Pokoknya cari Melani sampai ketemu kalau sudah ketemu. Kembalikan dia ke sini. Dia butuh suasana untuk dicintai, mengerti?"
Gano mengangguk, lalu pamit kepada kedua mertuanya untuk mencari istrinya. Ia kembali ke rumah, tapi rumah itu masih kosong. Belum ada tanda-tanda kepulangan atau kehadiran seseorang.
Pria itu mengusap wajahnya. Dia merenungkan kalimat demi kalimat yang disampaikan kedua mertuanya. Dia melihat kiri kanan. Dia tidak menyangka jika semua orang memperhatikan keadaan rumahnya. Ia marah pada dirinya sendiri karena menyetujui apa yang dikatakan orang-orang. Suami macam apa dirinya yang membiarkan mantan istrinya keluar masuk begitu mudah ke dalam rumah tangga barunya.
"Sayang, pulang.." lirihnya pedih.
Malam itu, Gano bahkan sampai menghampiri tempat bimbel Melani, tapi hasilnya nihil. Bangunan itu sudah gelap dan hanya diterangi lampu bagian luar. Ia tak tahu harus menghubungi siapa, dia tak mengenal siapapun sahabat ataupun rekan kerja istrinya. Di kondisi seperti ini, Gano merasa tak berguna.
•••
Malam telah berganti pagi, tetapi suasana hati Gano masih belum berganti. Ia belum mendapat kabar dari istrinya bahkan nomor ponsel itu telah berubah menjadi tidak aktif. Ia tidak tahu apa yang terjadi tapi Gano berdoa jika istrinya baik-baik saja.
Sore itu, Gano pulang ke rumah dan disambut oleh anak-anaknya. Ia berusaha memasang wajah tersenyum, meski hatinya tengah gelisah. Tadi, ia mampir ke tempat bimbel Melani dan pihak sana mengatakan jika istrinya itu mengajukan cuti kemarin. Hal itu tentu membuat Gano terdiam. Melani sengaja meninggalkannya.
"Mas?" Panggil Dea yang ternyata berada di rumah. "Aku numpang masak ya. Soalnya rumah sepi, Melani juga gak ada. Anak-anak pasti lapar."
Gano tak menjawab, ia hanya berdeham singkat, lalu masuk ke dalam kamar. Tangan lelaki itu yang hendak mengambil baju terhenti saat menyadari jika beberapa baju istrinya telah menghilang. Ia memeriksa barang lainnya dan entah harus menghela napas lega karena tak ada barang berharga lain yang hilang ataukah merasa cemas. Ini artinya Melani sempat kembali ke rumah karena ia yakin sekali jika pagi tadi baju-baju istrinya masih banyak di dalam lemari.
Tanpa menghiraukan Dea dan anak-anaknya, Gano berlari menuju rumah kedua mertuanya. Ia ingin memastikan keberadaan istrinya.
"Bu, Melani beneran gak ada di sini?" Tanya Gano pada Ibu mertuanya yang tengah duduk santai di teras.
"Melani gak ada di sini." Kata Ibu mertuanya, "dia belum kembali?"
"Belum, Bu. Bahkan baju-baju dia sudah banyak yang hilang padahal semalam masih ada. Makanya, kukira Melani ada di sini."
"Gano, kalian benar tidak bertengkar?"
"Gak, Bu. Kami baik-baik aja."
"Mungkin kamu pernah berkata atau bersikap kasar?'
"Bu, sumpah. Aku gak main tangan sama Melani. Soal perkataan aku gak tahu, setahuku gak ada, tapi aku gak tahu kalau mungkin Melani tersinggung."
Tina menghela napas. "Ibu gak bisa ikut campur masalah rumah tangga kalian, tapi Ibu akan bantu sebisa Ibu."
"Tolong kabarin kalau Melani pulang, Bu."
"Ya."
Setelahnya, lelaki itu pamit pulang dan kembali memikirkan kemungkinan dimana istrinya berada. Sebelum itu, ia melihat tetangga sebelah rumahnya. Mungkin setelah ini akan terjadi gosip tapi biarkanlah yang penting ia tahu jika yang datang pagi tadi benar-benar istrinya.
"Bu Evi!" Panggil Gano.
"Eh, Gano. Dari rumah mertua kamu ya?"
"Iya, Bu."
"Pasti susah ya ditinggal mudik sama istri." Ujarnya, "hati-hati. Ibu dengar kalau istri kamu lagi hamil. Jangan sering-sering berpergian jauh."
"Mudik? Ibu ketemu Melani ya tadi?"
"Iya tadi pagi, katanya dia mau mudik. Kamu gak tahu?"
"Oh, saya tahu, Bu. Saya kira Ibu tahu dari siapa." Kata Gano berpura-pura.
"Ibu kira kalian ada masalah sampai istri kamu bawa tas besar segala."
"Kami baik-baik aja kok, Bu. Melani cuma butuh istirahat. Kasihan kalau disuruh ngurus anak-anak terus." Lanjutnya bersandiwara. "Ya sudah, saya duluan ya, Bu."
Tanpa perlu bertanya, dia pun mendapat jawabannya. Namun, kini Gano bertanya-tanya pergi kemana Melani saat ini?
•••
ВЫ ЧИТАЕТЕ
One Plus Three
Любовные романыApa yang terjadi jika kamu harus menikah dengan tetanggamu sendiri? Terlebih, jika sesosok itu adalah pria dewasa dan seorang duda.
Part 13
Начните с самого начала
