A way to propose

3.3K 222 2
                                        

Tau momen apa yang membuat nyaliku ciut?!

Deva tidak menjawab lamaran-ku.

Bahkan kami tidak banyak bicara saat sudah naik pesawat, perjalanan ke hotel pun hambar. Aku merasa no clue dengan sifat diam Deva yang tiba-tiba muncul. Kami tidak ada masalah belakangan ini, bahkan komunikasi kami lancar di tengah-tengah kesibukan kita berdua.

Deva bahkan gak banyak menatapku selama perjalanan, berbeda dengan saat dia curhat di lounge tadi.

Apa aku kelewatan melamar dia dengan begitu? Atau apa dia gak ingin aku lamar? Itu artinya dia gak mau menikah denganku?

Tebak-tebakanku di dalam kepala semakin membuatku kesal sendiri, karena harusnya setidaknya dia menyambut saja lamaranku. Entah dengan jawaban 'iya' atau kalau tidak, bilang saja masih butuh waktu mikir. Aku lebih bisa terima jika begitu.

Diamnya dia begini, membuatku cenderung berpikir ini artinya mungkin saja dia menolakku. Tapi kenapa?!

Kalau Deva ujungnya gak mau menikah, dari awal aja kita harusnya putus.

...

"Aku besok berangkat sendiri, kamu istirahat aja," ucapku agak ketus pada Deva saat kami akan menuju kamar hotel masing-masing.

Sebenarnya Deva sudah tau semua jadwalku besok dan lusa, aku bahkan sudah memberi tahu setiap detail kegiatanku.

Tapi sepertinya kami berdua, butuh waktu masing-masing dulu sekarang. Entah apa yang Deva pikirkan, tapi aku sendiri, aku ingin menjauh dari dia lebih dulu, aku sudah kepalang malu, ngajak nikah duluan, tapi diabaikan. Jujur saja, harga diriku terluka.

"Makan dulu yuk," Ucap Deva sesampainya aku di depan pintu kamarku,

"Gak, aku diet" jawabku sekenanya dan segera masuk ke dalam kamar.

Ini belum menyentuh malam, aku dan Deva sebenarnya sudah ada rencana untuk menikmati momen di KL berdua, itu makanya kami berangkat siang dari Jakarta. Tapi apa yang aku dapatkan? Aku malah menghabiskan waktu untuk menangis sesenggukan hingga malam.

Kalau saja tim launching tidak menelponku untuk segera ke outlet melihat persiapan acara besok, mungkin sampai pagi besok aku masih menangis sendirian.

...

Aku berangkat ke outlet dengan kaos polos yang hanya ditutupi outer hitam, memakai kaca mata hitam untuk menyembunyikan mata sembab-ku. Deva tidak juga menghubungiku hingga malam, tidak ada telepon atau pesan darinya. Entahlah, mungkin dititik ini aku gak akan peduli lagi kalau dia ternyata sudah balik ke Jakarta.

Untuk mengecek outlet, aku hanya perlu memastikan semua penataan dan barang sama persis ketika launching di Jakarta. Timku disini yang berkoordinasi tentang segala jadwal interview besok. Untuk menjaga kekondusifan acara, terutama tamu yang kuundang akan ada kemungkinan terlambat, semua jadwal interview dimajukan menjadi sebelum pembukaan resmi dilakukan. Itu berarti aku harus datang lebih pagi lagi besok.

...

Sampai tengah malam, aku pulang, mandi dan bersiap tidur. Tidak ada juga kabar dari Deva, ini membuatku makin kesal dan marah. Tidakkah seharusnya dia berusaha sedikit saja untuk meluruskan semua ini? Kenapa dia tiba-tiba jadi sekurang ajar ini?

Boro-boro bisa tidur, aku makin ingin melanjutkan tangisku malam ini. Tapi please, besok aku harus bangun mungkin jam 4 pagi dan bersiap-siap untuk acara launching.

Ku pilih satu kontak di handphone, kontak paling urgent untuk masalah hatiku. Teman baiku, sahabatku yang pasti ada dalam segala situasi, Ambita. Pasti dia paling bisa mengerti kondisi perasaanku disaat seperti ini.

Jyo : On My Own (END) Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon