Not Bl
just Brothership.
---
Jay Park adalah seorang remaja berusia 17 tahun yang hidup dalam keheningan dan luka. Setelah ayahnya meninggal dunia, satu-satunya harapan hidup Jay adalah ibunya-hingga hari itu tiba. Hari ketika ibunya meninggal dunia...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
♧ ◇---◇ ~MY LITTLE UNIVERSE~ ◇---◇ ♧
_____________happy reading____________
---
Siang itu, matahari sudah meninggi, sinarnya terasa lebih tajam meski angin masih sejuk menerpa halaman belakang mansion. Jay perlahan membawa Jungwon yang masih tertidur pulas ke dalam rumah, memastikan tubuh mungil itu tidak kedinginan atau kepanasan.
Ia berjalan melewati lorong panjang yang sunyi, hanya suara langkah kakinya yang bergema pelan. Sampai di kamarnya, Jay menaruh adiknya di atas ranjang kecil yang khusus dipasang di sebelah tempat tidurnya.
Jay duduk di lantai, punggungnya bersandar ke ranjang, matanya menatap langit-langit kosong. Rasa sepi tiba-tiba merayap lagi ke dalam dadanya, mengingatkan betapa besar tanggung jawab yang kini ada di pundaknya.
Beberapa saat kemudian, suara rengekan kecil membuatnya terlonjak bangun. Jay berbalik cepat, melihat Jungwon menggeliat dengan wajah cemberut, mata mungil itu terbuka sedikit—masih buram, tapi penuh rasa ingin tahu.
Jay tersenyum kecil, lalu membungkuk, mengelus pipi adiknya dengan ujung jarinya.
“Kamu bangun, ya?” bisiknya pelan.
Si kecil merespon dengan gumaman samar, bibir mungilnya menganga, seolah mencari sesuatu. Jay segera mengerti. Ia mengambil botol susu hangat yang sudah disiapkan di meja kecil sebelah tempat tidur.
Dengan sangat hati-hati, Jay mengangkat Jungwon ke pelukannya. Ia menyelipkan botol susu kecil itu ke mulut adiknya.
Jungwon mulai menyusu pelan, matanya terpejam kembali seiring dengan gerakan kecil mulutnya. Jay menahan napas, memperhatikan setiap tarikan nafas, setiap gerakan halus dari bayi merah itu.
"Pelan-pelan, jangan keburu-buru..." gumam Jay, seolah mengajari dirinya sendiri juga.
Di luar, suara burung-burung kecil bersahut-sahutan. Di dalam kamar, hanya ada Jay, Jungwon, dan dunia kecil mereka yang baru terbentuk—dunia yang rapuh, tapi penuh harapan.
Saat botol hampir kosong, Jay mengangkat adiknya ke pundaknya, menepuk-nepuk punggung mungil itu agar sendawa. Ketika suara sendawa kecil terdengar, Jay nyaris menangis—bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur kecil yang ia sendiri sulit mengungkapkan.
Jay memejamkan mata, membelai kepala adiknya.
"Kamu hebat, Wonnie... kamu kuat. Kakak juga harus kuat, kan?"