Bab 2

165K 2.6K 12
                                    

A/N: Nemu model mixed race African-American, White, sama Native American gitu. Facial featurenya cocok banget untuk jadi Bagas, apalagi kalau kulitnya lebih gelap.


Vada's POV

Aku duduk kembali di meja kerjaku dan menjeduk-jedukkan dahiku ke meja. Melirik frustrasi ke arah pintu ruangan kantor pria arogan itu. Mungkin memang tidak ada lagi rasa suka diantara kami berdua, hanya kebencian yang tersisa.

"Eeeeh, kenapa neng?" tanya Kang Edo kepadaku. Aku hanya mendelik kesal.

"Ada ya, Kang, arsitek yang mengambil partner.. sehari sebelum berangkat briefing sayembara?" tanyaku geram.

Kang Edo melongo. "Bagas Wendell?" tanyanya.

"Siapa lagiiiii?" balasku kesal, "itu ada sayembara Hotel Vanderbilt Bali yang waktu itu ada di email kantor, Kang. Vada sih tau kantor kita mau ikut, tapi Vada kira yang megang Pak Muklis atau Pak Harry sendiri, ternyata kan si Bapak sombong satu itu. Dan dia ngajak Vada partneran, tapi baru bilang hari ini, sedangkan kita udah harus berangkat besok ke Bali. Gila nggak tuh Kang?"

Mbak Diani yang sudah menguping curhatanku sejak tadi pun mendekat."Kenapa nggak lo tolak aja Va? Lagian lo belum sempat riset kan?"

"Tadinya sudah mau Vada tolak Mbak," jawabku jujur, "tapi setelah Vada pikir-pikir kasihan juga. Kalau nggak sama Vada, dia mau ngajak siapa lagi? Emangnya Mbak Di mau partneran dadakan begini dengan si Bapak sombong?"

Mbak Diani langsung mencibir. "Di ajak partneran sebulan sebelum sayembara pun gue ogah kalau sama dia. Lagaknya aja udah sok paling berilmu! Mentang-mentang ambil master di London. Cih, meskipun gue master di Jakarta, tapi gue udah lebih banyak pengalaman dari dia. Tapi gue nggak sombong tuh!"

"Yee barusan lo ngapain coba?" ujar Mas Mitchell yang baru ikut bergabung dan langsung dibalas dengan pelototan tajam Mbak Diani.

"Bukan gitu, maksud gue, lagak gue nggak main perintah sana sini. Gue juga sadar diri. Emang sih jabatan dia lebih tinggi dari gue. Tapi kan itu karena dia.."

-blak-

Pintu ruangan kantor Bagas terbuka. Ia membawa suitcase kerjanya dan melangkah terburu-buru. Namun ia sempatkan berhenti di dekat Vada.

"Kalau kau masih sempat mengobrol santai, Nona Kusuma," katanya dingin,"mestinya kau juga sempat untuk melakukan riset pentingmu itu."

"Yang mestinya sudah saya lakukan sejak beberapa hari yang lalu jika bapak memberitahu saya lebih cepat," jawabku santai sambil mengerling tajam.

Bagas mendengus dan meneruskan derap langkahnya keluar dari kantor. Rekan-rekanku berdecak kagum melihat kelancanganku kepadanya.

"Gila lo Va, makan apa semalam sampai bisa berani sama dia?" sahut rekan-rekanku yang tak ku gubris karena sibuk menatap punggung Bagas.

Bagaskara Edison Wendell. Pria berkulit legam yang pernah menjadi kakak kelasku dulu itu memang selalu menunjukkan kebenciannya kepadaku. Setidaknya sejak rencana kencan waktu itu gagal. Saat itu aku masih kuliah. Saat itu aku masih belum menyadari penyakit kelainan yang aku derita.


-flashback-

Aku terbangun di kamar kos ku dengan perasaan panas yang mengalir ditubuhku. Sejak semalam sudah aku nyalakan kipas angin dan ku arahkanke tempat tidurku untuk mendinginkan tubuhku, namun tetap saja aku merasa kepanasan. Sudah ku lucuti bajuku hingga tersisa pakaian dalam saja tetapi masih terasa panas.

Aku melirik jam weker, sudah pukul 6 pagi. Aku menyeret badanku ke kamar mandi yang berada di dalam kamar kos ku dan memandikan tubuhku denganair dingin, berharap aku akan berhenti kepanasan. Yah, lumayan. Setidaknya aku tidak merasa ingin bertelanjang ria saat ke kampus nanti. Aku memilih kaus yang berbahan tipis dan kupadukan dengan rokselutut. Ku pikir jika aku memakai celana jeans aku akan merasa kepanasan nanti di kelas studio. Aku kemudian sarapan dengan roti sobek yang ku beli semalam sambil menyelesaikan tugas kuliah yang akan ku serahkan nanti siang. Lalu setelah itu.. Aku tersenyum. Kak Bagas Wendell.. mengajakku menonton film.

Ovulation ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang