Happy Reading💐
Hujan turun seolah tak pernah ingin berhenti. Awan menutup langit sepenuhnya, membuat sore itu tampak seperti malam yang terlalu cepat datang. Jalanan macet, kendaraan mengular tanpa arah pasti, dan suara klakson bersahutan tak membawa arti. Tapi semua hiruk-pikuk itu tak masuk ke dalam dunia kecil milik Hasya Diajeng Laksamana.
Ia duduk di bangku kayu tua di depan sebuah toko kelontong yang nyaris tutup. Bajunya basah, seragam SMP-nya lusuh dan berat oleh air hujan. Ujung lengan panjangnya ia genggam erat, berusaha menahan dingin yang merambat pelan ke seluruh tubuhnya.
Tapi bukan hanya hujan yang membuatnya menggigil-ada sesuatu yang lebih dari sekedar cuaca. Perasaan hampa, letih, dan dingin yang datang dari dalam dirinya sendiri. Matanya menatap kosong ke jalanan, tapi pikirannya mengembara entah ke mana.
Di sekitarnya, orang-orang bergegas berlindung, payung warna-warni bermunculan, tapi tak satu pun menghampirinya. Mungkin karena dia terlalu diam, terlalu tak terlihat.
Lalu, suara langkah kaki terdengar di tengah derai hujan.
Tidak tergesa. Tidak ragu. Tapi jelas-seperti langkah seseorang yang tahu ke mana harus pergi. Hasya tidak langsung menoleh ia sudah terbiasa diabaikan. Tapi langkah itu berhenti tepat di hadapannya.
"Sini," ucap suara itu. Dalam, datar, nyaris tak terdengar oleh suara hujan. Namun cukup untuk membuat Hasya mendongak.
Payung hitam disodorkan ke arahnya.
Untuk sesaat, waktu seperti berhenti. Hujan tetap turun, tapi Hasya tak lagi mendengarnya. Yang ia lihat hanyalah wajah pemuda itu-rambutnya agak berantakan karena angin, wajahnya teduh tapi dingin, dan sorot matanya tajam namun... ragu?
Mereka bertatapan. Dan di mata pemuda itu, ada keterkejutan yang tak sempat disembunyikan. Seolah ia baru saja melihat hantu dari masa lalu. Wajah gadis itu-wajah Hasya-seakan menghidupkan kembali seseorang yang sudah lama ingin ia lupakan, tapi tak pernah benar-benar bisa.
Hasya nyaris tak bernafas. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapan pemuda itu-seolah dia mengenalnya, tapi bukan sebagai Hasya yang sekarang. Lebih seperti... bayangan seseorang lain yang menempel di dirinya. Dan entah kenapa, itu membuat hatinya berdebar tak karuan.
Pemuda itu membuka mulut, seakan hendak mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Rahangnya mengeras. Hujan membasahi rambutnya, menetes di pelipis, tapi dia tak bergeming. Begitu pula Hasya.
"A-aku..." suaranya akhirnya terdengar, serak dan pelan. "Maaf. Aku kira... bukan apa-apa."
Hasya mengerutkan kening. "Kamu kira apa?"
Dia menunduk sejenak, mengatur napas, lalu menatapnya lagi-tatapan yang kini lebih tenang, tapi masih menyisakan sisa-sisa gejolak tadi. "Kamu mirip seseorang yang aku kenal," katanya pelan. "Dulu."
"Dulu?" Hasya nyaris berbisik.
"Iya." Pemuda itu menyelipkan tangan ke saku jaketnya, lalu menunduk sedikit, seperti ingin menghindari sorot mata Hasya. "Tapi kamu bukan dia, kan?"
Hasya tak tahu harus menjawab apa. Ia bahkan tak yakin mengerti maksudnya. Tapi ada sesuatu dalam kata-kata itu-dalam caranya menatapnya-yang terasa begitu dalam, seolah ia sedang membawa beban yang tak bisa dilupakan.
Lalu, suara klakson dari kejauhan menyentak mereka kembali ke dunia nyata. Pemuda itu menarik napas dalam, lalu berkata cepat, "Aku harus pergi."
Sebelum Hasya sempat bertanya siapa dia, pemuda itu sudah berbalik, melangkah cepat menembus hujan yang kian deras.
ŞİMDİ OKUDUĞUN
Langit Yang Sama
Genç KurguHasya mencintai hujan-gemericiknya, baunya, dan cara tetesnya menyembunyikan air mata. Bagi Hasya, hujan adalah tempat berlindung dari dunia yang terlalu bising. Sementara Raden menyukai senja-cahaya hangat yang perlahan pergi, seperti cara orang-or...
