Secuil Kisah Tentang Mereka
***
Bangku Sekolah Menengah Atas. Tahun kedua persekolahan. Hari Sabtu, pukul 10 pagi, hari terahir mereka melaksanakan ujian sekolah. Pagi hari yang mendung disertai gerimis tiada henti, datang pula angin dingin yang membawa kabar duka untuk seseorang yang baru selesai menjawab kertas ujian nya dengan lancar. Harap hati ingin segera pulang kerumah, menghambiskan waktu bersama keluarga sembari memakan pisang goreng buatan Ibunda dan segelas susu hangat. Sungguh indah memang mempunyai keluarga lengkap. Namun perjalanan nya untuk pulang lebih dulu didahului oleh berita duka yang datang menghampiri.
"Ananda, kami baru saja mendapat kabar duka dari pihak keluarga ananda, kalau Ayah ananda sudah berpulang. Beliau meninggal pagi tadi, tepat pukul 9,"
Deg!
"Tapi karena ananda Laras masih mengerjakan ujian, kami menahan berita itu untuk ke fokusan ananda menjawab soal. Kami dan seluruh pihak sekolah turut berduka cita dan mengucapkan bela sungkawa—"
Laras Ayu bergetar. Hal yang paling ditakutkannya akhirnya terdengar. Itu terngiang-ngiang. Sungguh mengerikan ditelinga, seperti angin ribut yang riuh.
Ayah meninggal. Terus terulang. Ayah meninggal.
Dunia nya terguncang seketika. Dengung memenuhi kepalanya, kencangnya detak jantung membuat Laras Ayu serasa tuli. Tubuhnya akhirnya meluruh. Membuat para guru dan wali kelas nya yang mengerubuni nya memekik panik. Segera mereka menyongsong tubuh lemas Laras, meremat dan mengelus tubuh itu yang nampak kosong dan dingin memucat.
"Sabar, Nak.." Samar pendengaran Laras mulai kembali normal.
"Aa—ayah.." Cicitnya seperti tercekik, sakit kian mendera dadanya. Membuat Laras serasa susah bernafas. Ketika satu tarikan nafas dan sakit luar biasa memenuhi sekujur tubuh dan hatinya—tangis Laras luruh. Raungan nya terdengar, "Ayah!" makin terdengar keras, "AYAH! AYAH!"
Duka, derita, kengerian, ketidak percayaan, dan berbagai jenis emosi negatif memenuhi Laras Ayu. Dia meraung, memberontak, dan berteriak memanggil sang Ayah. Para guru yang menenangkannya tak kuasa menahan tangis, murid kesayangan mereka, murid teladan mereka yang selalu bertutur sopan, lembut dan ayu meraung seperti orang gila. Pedih sekali hati mereka, ikut tersanyat mendengar betapa pilu tangisan Laras Ayu.
Tangisan anak perempuan pertama yang ditinggal oleh Ayah nya. Untuk selamanya.
"Ayahh, Ayah. Jangan, Ayah. Jangann.." Laras Ayu tergugu, air matanya bagai gerimis hujan yang membasahi tanah sekolahan.
Tok, tok, tok
"Permisi," Suara ketukan dan suara lembut yang terdengar dari pintu ruangan guru itu tidak berhasil mengintrupsi tangis Laras dan para guru yang ikut menangis dengan nya.
Pemuda jakung itu berdiri disana, mengamati dan memberi waktu untuk tangis mereka. Sampai akhirnya seorang guru pria menyadari kehadirannya.
"Raden Arjuna," Panggilnya kepada pemuda itu.
"Selamat pagi, pak Omar."
"Pagi, pagi." Balas guru pria itu sambil menepuk bahu Raden yang menyalami nya.
"Maaf mengganggu Pak, saya kesini ingin menjemput Laras Ayu." Ungkap Raden tanpa membuang waktu.
"Ah, iya." Pak Omar menatap Laras yang masih ditenangkan oleh para guru perempuan, "Kamu keluarganya, kan?"
"Benar, pak. Apa kami bisa pulang lebih dulu?" Raden meminta izin, meskipun tau pihak sekolah tetap akan membiarkannya pulang lebih dulu membawa Laras Ayu.
YOU ARE READING
The Red String
ChickLitRed String connects people who are destined to be together. Tapi bagaimana kalau benang merah itu membelit banyak pihak? Baca prolog!
