"Aduh, lo nggak bakal percaya deh! Tadi dikantin, Tasya hampir aja numpahin jus jeruk ke seragamnya sendiri gara-gar-"

"Melodi, bisa sedikit lebih pelan? Ini perpustakaan." Sonata akhirnya membuka suara.

Melodi langsung menutup mulutnya rapat-rapat, lalu menatap Sonata dengan mata berbinar jahil. Ia menyandarkan dagunya di telapak tangan, senyumnya mengembang.

"Ih, lo ngingetin gue sama guru BK pas ngomelin anak bandel." Sonata menghela napas panjang.

"Saya serius."

"Ya ya ya, gue ngerti." Melodi mengangkat tangan seolah menyerah, tapi senyum di wajahnya masih belum pudar.

Sonata mengabaikannya dan kembali fokus pada bukunya. Namun, kedamaiannya tidak bertahan lama. "Eh, ngomong-ngomong, Band Lunaris bakal tampil di acara sekolah bulan depan!"

Sonata tidak menanggapi, tapi dari sudut matanya, ia bisa melihat Melodi menatapnya penuh antusias. "Lo bakal nonton, kan?" tanya Melodi, suaranya sedikit lebih pelan tapi tetap bersemangat.

"Tidak."

Melodi ternganga. "Hah?! Kenapa enggak?"

Sonata menutup bukunya dengan tenang, menatap Melodi dengan ekspresi datar. "Karena saya tidak tertarik."

Melodi mendengus, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Lo tuh kenapa sih? Masa lo nggak penasaran sama penampilan gue?"

Sonata menghela napas. "Saya sudah tahu kamu berbakat. Tidak perlu saya tonton untuk membuktikannya."

Melodi terdiam sejenak, lalu mengerucutkan bibirnya. "Ih, lo itu ya... nggak seru banget!" keluhnya sambil menopang dagu.

Sonata hanya mengangkat bahu. "Saya memang tidak pernah berusaha untuk menjadi seru."

Melodi mendesah panjang. "Ya ampun, Nata lo tuh bener-bener...," ia menggantungkan kalimatnya, seolah mencari kata yang pas.

"Bener-bener kayak buku teks pelajaran. Kaku, berat, dan bikin pusing." Sonata tidak bereaksi. Ia hanya kembali membuka bukunya, seolah percakapan ini tidak ada.

Namun, Melodi tidak akan menyerah semudah itu. "Sekali-kali lah, lo keluar dari zona nyaman lo. Coba sesuatu yang baru." ujar Melodi lagi, kali ini lebih halus.

"Saya tidak butuh hal baru," Sonata menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman yang sedang dibaca.

"Saya hanya butuh nilai bagus." Melodi menatapnya lama sebelum akhirnya menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi menyerah.

Tapi dalam hatinya, ia sudah bertekad. Sonata akan datang ke acara itu. Ia akan memastikan hal itu terjadi.

***

BRAKK!!

Pintu ruang band terbanting dengan keras, membuat suara dentuman drum mendadak terhenti. Dimas yang sedang memukul snare refleks tersentak, sementara Raka langsung mengangkat kepalanya dari bass.

"Anjir, lo ngagetin aja, Al!" Dimas mengumpat sambil menepuk dadanya, jelas masih kaget dengan cara Alto menerobos masuk.

Tapi Alto tidak menggubris. Napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan ekspresinya penuh amarah. "Sialan!" geramnya, tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya.

Raka menatapnya dengan dahi mengernyit. "Kenapa lo? Berantem sama satpam sekolah?"

Alto menggeram frustasi, lalu melempar tasnya ke sofa di pojok ruangan. "Apa sih yang diliat Lodi dari si cupu itu?! Gue nggak habis pikir!"

Dimas dan Raka saling bertukar pandang sebelum akhirnya Dimas menyandarkan diri di kursinya, menyeimbangkan stik drumnya di jari telunjuknya. "Cupu? Lo ngomongin siapa?"

"Si Sonata, siapa lagi," sahut Raka santai.

Alto berjalan mondar-mandir di dalam ruangan, jelas sedang menahan emosi. "Gue nggak ngerti, kenapa Lodi malah nempel ke dia? Lo lihat nggak tadi? Dia bawa-bawa bekal buat cowok itu!"

Raka menaikkan alis. "Terus?"

Alto berhenti melangkah, menatap kedua temannya dengan sorot tajam. "Terus? Itu aja yang lo bilang?!" suaranya meninggi.

"Dulu dia bawain bekal buat gue, sekarang buat si kutu buku nggak jelas itu?!"

Dimas terkekeh kecil. "Sirik, lo?"

"Enggak!" sanggah Alto cepat.

"Gue cuma nggak habis pikir aja. Lo bayangin, cowok itu nerd, nggak punya temen, nggak ada daya tarik sama sekali, tapi Lodi malah ngeladenin dia?! Ngajak ngobrol, bawa bekal, ngasih perhatian?! Itu nggak masuk akal!"

Raka mendesah pelan. "Mungkin karena Lodi emang udah move on, bro."

Ucapan itu membuat Alto langsung terdiam. Rahangnya mengatup kuat, jelas tidak terima dengan kemungkinan tersebut.

Dimas, yang sedari tadi hanya mendengar, akhirnya menimpali, "Yaelah, Al. Lo aja yang nggak mau nerima kenyataan. Lo pikir Lodi bakal selamanya stuck sama lo?"

Alto mengepalkan tangannya, wajahnya semakin tegang. "Gue nggak bakal biarin itu terjadi," gumamnya lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Dimas dan Raka saling bertukar pandang lagi. Mereka tahu betul kalau Alto itu keras kepala, dan kalau sudah bertekad sesuatu, dia nggak akan tinggal diam.

Dan kali ini, targetnya adalah Sonata Irama.

{CONTINUED}

Gimana?? Next??

Thanks Have read

Mission: Nerd Possible Donde viven las historias. Descúbrelo ahora