“Mendadak aku mules, Zel. Serius.” Barangkali saking gugupnya, perutnya menjadi bergejolak. Terlebih, sebelum berangkat ke sini, Neiva membelikannya nasi padang dengan sambal ijo yang cukup banyak.
Hazel tersenyum geli melihat Irish memegang perutnya sendiri. Astaga ... di saat-saat begini, bisa-bisanya Irish mulas. “Mau ke tolet dulu?”
Mulut Irish terbuka, hendak mengiyakan sebelum ponsel Hazel berdering nyaring, membuat si empunya langsung mengambil benda pipih yang tergeletak di dashboard mobil tersebut untuk melihat nama si penelepon. Ternyata Alam.
Hazel menggeser tombol hijau lalu menaruh ponselnya di telinga. “Halo?”
“Udah sampe mana lo? Lama amat datengnya.”
Hazel menatap Irish sekilas. “Bentar lagi saya sampe.”
“Irish udah selesai dandan? Lo jadi bawa dia, kan?”
“Udah. Iya, saya jadi bawa dia.”
“Oke. Gue tunggu. Cepetan!”
Kemudian, telepon ditutup. Hazel menurunkan ponselnya dari telinga dan menatap Irish yang juga tengah memperhatikannya. “Kita harus masuk, Rish. Apa pun nanti yang bakal terjadi di dalam, jangan takut karena aku selalu di samping kamu. Dan, jangan pernah berusaha untuk menjadi orang lain untuk mengambil hati keluarga aku. Be yourself, okay?”
Sekali lagi, Irish menghela napas. Benar kata Hazel, dia harus berani mengambil semua risiko kalau sudah memutuskan sesuatu. Dia juga sudah berada di titik ini. Menerima Hazel kembali, itu berarti dia sudah siap menghadapi keluarganya. Perlahan, senyum Irish terbit. "Keluarga kamu nggak ada yang makan manusia, kan?" tanya Irish, semata-mata untuk mengurangi kegugupan yang melanda.
Hazel tergelak, hingga matanya menyipit. Merasa gemas, Hazel refleks mencubit pelan pipi chubby Irish. "Kalau keluarga aku ada yang makan manusia, nggak mungkin tamu undangannya sebanyak itu. Bisa pesta tujuh hari tujuh malam, Sayang."
Hazel gila!
Irish merasa wajahnya memanas saat mendengar panggilan tersebut. Apa katanya? Sayang? Dia memang sengaja ingin membuat Irish salah tingkah, ya?
"Nggak usah panggil-panggil gitu, deh, Zel. Aku geli!" Padahal, tanpa sepengetahuan Hazel, hatinya justru berteriak kegirangan. Andai pria itu tidak ada di hadapannya, mungkin Irish sudah seperti remaja yang sedang jatuh cinta, tak bisa menormalkan senyumnya yang ingin melengkung bak pelangi.
"Ya, nggak apa-apa, kamu memang sayang aku, kan? Biar romantis dikit, Rish." Hazel menoel dagu Irish lalu buru-buru keluar dari mobil ketika mata Irish sudah melotot, bersiap untuk mengeluarkan omelan. "Ayo, masuk. Di dalem udah banyak yang nunggu." Hazel kembali melongokkan kepala.
Mendadak, tangan Irish sedingin es, tapi dia mencoba untuk bersikap sesantai mungkin. Nggak apa-apa, Rish. Mereka masih sejenis homo sapiens, bukan megalodon.
Alhasil, dengan anggun, Irish keluar dari mobil, yang disambut uluran tangan oleh Hazel. Senyum kecil disertai anggukan seolah-olah mengartikan kalau semuanya akan baik-baik saja. "Aku sempet bilang nggak, kalau kamu cantik banget?" bisik Hazel saat mereka mulai berjalan menuju gedung.
Lagi, meski hanya sekadar ucapan yang Irish tak tahu asalnya dari hati atau bualan, tapi sukses membuat Irish tak bisa menahan senyumannya. Dia mulai nyaman dan merasa aman dalam genggaman hangat Hazel. Irish melirik ke samping, agak mendongak untuk melihat ekspresi pria itu. Dengan tuxedo hitam, rambut yang disisir rapi ke belakang serta ekspresi serius yang ditampilkan, Hazel benar-benar seperti CEO yang sering dia baca di novel romantis. Dibandingkan dulu, Hazel tampak jauh lebih dewasa. Bukan hanya dari segi umur, tapi juga penampilan maupun sifat.
Semakin mendekati tempat acara, jantung Irish semakin berdegup kencang hingga tanpa sadar genggamannya mengerat. Hal itu tentu disadari oleh Hazel yang langsung merangkul Irish.
"Mas Hazel? Gue kira lo nggak bakal dateng. Biasalah, pasti alasannya sibuk mulu." Seorang perempuan cantik dalam balutan dress panjang berwarna nude yang berdiri di dekat pintu gedung, menyapa Hazel.
"Kenapa saya nggak dateng di pernikahan sepupu saya sendiri? Apalagi Alam udah banyak bantu saya."
Perempuan itu berdecak. "Iya, deh. Si paling sepupu." Arah matanya beralih kepada Irish. Dia menatap penampilan Irish dari bawah ke atas. "Siapa, Mas?" tanyanya tanpa berpaling.
"Calon saya. Rish, kenalin. Dia sepupu aku, adiknya Alam, Lavi. Nama aslinya Lavender, tapi nggak mau dipanggil Nder."
Perempuan cantik bernama Lavender itu mendelik kesal lalu menggeplak lengan kekar Hazel. "Sembarangan! Jangan panggil Nder juga kali." Kemudian, Lavender mengulurkan tangannya kepada Irish. "Lavender Mikaila. Panggil aja Lavi."
Tak seperti tadi yang kurang ramah, kali ini Lavender menyunggingkan senyuman manis yang kalau ditilik agak mirip dengan Hazel. Tanpa ragu, Irish membalas uluran tangan Lavender. "Irish Blossom."
Selama beberapa detik, Lavender tercenung, seakan-akan tengah berpikir sebelum akhirnya mulutnya terbuka lebar. Anehnya, perempuan itu masih tetap jelita bak boneka hidup. "Mas, jangan bilang—" Ucapan Lavender terhenti saat melihat anggukan dari Hazel. Dia langsung menutup mulut dan mengelilingi Irish dengan tatapan tak percaya.
"Ya ampun ... lo ternyata cantik banget, ya!" Tiba-tiba, Lavender memeluk Irish, membuat si empunya kebingungan. Bagaimana kalau tidak bingung kalau dipeluk tanpa ada alasan? Mereka bahkan baru bertemu sekali, tapi perlakuan Lavender seperti mereka sudah saling mengenal satu sama lain.
"Ma-makasih, kamu juga nggak kalah cantik, kok." Irish tersenyum kikuk begitu pelukan mereka terlepas.
"Lo kenapa nggak bilang kalau dia juga bakal dateng?"
Hazel mengedikkan bahunya. "Alam udah tahu. Itu berarti Alam nggak kasih tahu kamu."
Lavender menggeleng sambil mengerucutkan bibir. "Bang Alam nggak bilang apa-apa dengan gue. Wah, pengin gue hancurin acara pernikahan dia kayaknya."
"Hancurin aja kalau kamu mau dicoret dari kartu keluarga." Hazel mengacak rambut Lavender yang digerai bergelombang.
"Ih, nggak asik banget!" Lavender menjulurkan lidahnya. Dengan jahilnya, dia mengambil posisi di tengah, antara Irish dan Hazel lalu menggandeng Irish yang masih canggung. "Mbak Irish, kita masuk ke dalam, yuk? Biarin Mas Hazel kayak kambing planga-plongo di sini. Kali aja mau jadi patung selamat datang."
Irish hanya mengikuti tanpa banyak bicara. Kedua perempuan itu mulai memasuki gedung, meninggalkan Hazel yang hanya bisa pasrah mengekori keduanya.
***
Bali, 09 November 2024
YOU ARE READING
Missing Variable (END)
RomanceIrish sangat menentang kisah lama yang terulang kembali. Menjalin hubungan dengan mantan adalah salah satu hal yang harus dihindari, dan dia akan selalu melarikan diri dari manusia bernama mantan itu. Namun, siapa sangka. Gangguan dari pria yang pe...
37. Bertemu Keluarga
Start from the beginning
