Masa lalu adalah bagian dari cerita kita. Cukup dikenang, tanpa perlu adanya pengulangan.
***
Ayana.
Nama yang cantik untuk orang yang cantik pula. Tubuh tinggi semampai, rambut cokelat bergelombang, dengan proporsi wajah yang pas. Irish bahkan sempat tertegun sesaat. Hazel? Jangan tanya bagaimana raut pria itu sekarang. Ibarat menemukan oasis di tengah-tengah Gurun Sahara. Sangat cerah dan berbinar-binar.
"How are you, Ay?" Hazel bangkit dari duduknya, menghampiri Ayana yang masih berdiri di ambang pintu.
Alis Irish terangkat sebelah. Ay? Panggilan macam apa itu? Oke, dia paham kalau nama perempuan itu adalah Ayana. Namun, dari sekian banyaknya panggilan, kenapa Hazel tidak memanggil perempuan itu dengan Ana saja? Atau Yana?
Ayana tersenyum manis, memperlihatkan lesung di pipi yang semakin menambah kecantikannya. Jujur saja, Irish tak menampik kalau dia sedang membandingkan dirinya yang biasa-biasa ini dengan Ayana yang bak dewi.
"Baik, Zel. Belakangan ini kamu jarang banget datang ke restoran, ya."
Belakangan ini kamu jarang banget datang ke restoran, ya. Sederet kalimat tersebut terus berputar di kepala Irish, menciptakan sebuah kecurigaan mengenai hubungan keduanya. Berarti, Ayana bukanlah orang asing di hidup Hazel hingga dia berani berkata demikian.
Terus, apa masalahnya dengan kamu, Rish?
Alarm warning di kepala Irish berdering secepat tubuh Hazel yang ditarik oleh Ayana. Irish mengerjap saat melihat adegan berpelukan tepat di depan matanya. Meski Hazel tak membalas sama sekali, tapi pria itu juga tidak menolak, seolah-olah ikut menikmati posisi tersebut.
Baru ketika Hazel tak sengaja melirik Irish yang diam di dekat lukisan, Hazel melepas pelukan Ayana. Dia tersenyum tipis, lalu mengajak Ayana untuk duduk di sofa.
"Ay, kenalin. Namanya Irish." Perhatian Ayana beralih pada Irish yang tersenyum kikuk. Rasanya dia seperti selingkuhan yang sedang diperkenalkan kepada istri sah.
"Dia ... siapa, Zel?"
"Saya asisten Pak Hazel." Irish langsung menyela Hazel yang ingin menjawab. Pria itu menatap Irish selama beberapa saat sebelum menghela napas.
"Dia asisten baru aku."
Ayana mengangguk paham. Dia tersenyum lebar sambil menyodorkan tangannya. "Ayana, calon pacar Hazel."
"Ay! Jangan bikin rumor aneh." Hazel buru-buru membantah, takut kalau Irish benar-benar mengira begitu. Sementara Irish sendiri bersikap tak acuh, meski tanpa dia sadari ada bagian dari dirinya yang merasa terusik.
Ayana mencibir dengan tangan yang diturunkan tanpa sempat dibalas Irish. "Sensi banget, Pak. Lagi pula, asisten kamu bukan gebetan yang bakal cemburu kalau aku ngaku jadi calon pacar kamu."
"Ya, memang bukan gebetan. Tapi—"
"Mbak Ayana mau saya buatkan minuman?" Mata Irish sudah memicing tajam ke arah Hazel saat pria itu hampir saja membocorkan rahasia mengenai masa lalu mereka. Terlebih, Hazel tampak santai, semakin membuat Irish kesal.
Ayana mengangguk cepat. "One coffe latte."
"Oke, Mbak. Ditunggu, ya."
Irish lekas keluar dari ruangan setelah memberi Hazel tanda peringatan melalui pelototan matanya, berharap Hazel tak mengatakan hal-hal aneh tentang mereka ketika Irish tak ada.
Begitu menutup pintu, telinga Irish sempat menempel ke pintu—berjaga-jaga kalau misalnya Hazel membuka kartu—tapi sebuah suara seketika mengejutkannya. "Lagi ngapain, Mbak Irish?"
YOU ARE READING
Missing Variable (END)
RomanceIrish sangat menentang kisah lama yang terulang kembali. Menjalin hubungan dengan mantan adalah salah satu hal yang harus dihindari, dan dia akan selalu melarikan diri dari manusia bernama mantan itu. Namun, siapa sangka. Gangguan dari pria yang pe...
