"Pantang menyerah" menjadi moto Arin kala berusaha mendapatkan perhatian dari seorang murid kesayangan guru matematika, yaitu Bian. Segala macam cara sudah Arin lakukan demi mendapatkan atensi dari Bian, tetapi tidak sedikit pun Bian meliriknya. Hin...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Kelas 11 IPS 3 menjadi kelas paling berisik di antara kelas lain. Di saat kelas lain begitu tenang mengikuti pembelajaran, kelas 11 IPS 3 bebas melakukan apa saja karena guru yang mengajar di jam tersebut berhalangan hadir. Sepuluh menit yang lalu, salah satu guru BK datang membawa kabar tersebut serta menyampaikan tugas yang harus dikerjakan. Mengetahui tenggat tugas tersebut minggu depan tentunya membuat para murid lebih memilih melakukan hal lain daripada mengerjakan tugas.
Di tengah keramaian teman-teman sekelasnya, Bian dengan tenang mengerjakan tugas yang baru saja diberikan. Jangan ditunda kalau bisa dikerjain sekarang, itulah prinsip yang dipegang Bian. Dirinya paling anti menumpuk tugas sekolah karena itu bisa menyita waktu istirahatnya.
Ada satu kehebatan Bian yang jarang dimiliki murid lain, yaitu bisa mengerjakan tugas di situasi dan kondisi apa pun. Seperti saat ini, dirinya tidak terganggu sedikit pun dengan suara bising yang dikeluarkan teman-teman sekelasnya. Ia masih bisa fokus memahami soal dan mengerjakannya.
Salah seorang gadis datang menghampiri Bian yang sibuk menulis. “Bian, lo diminta Bu Indah ke ruang guru,” ucapnya. Sontak Bian mendongak menatap temannya.
“Oke, makasih infonya, Nay,” balas Bian. Gadis itu hanya mengangguk kecil dan berlalu menghampiri temannya yang lain.
Tanpa berlama-lama, Bian menutup buku catatan serta buku paketnya kemudian memasukannya ke dalam tas. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak Bian saat diminta menghadap Bu Indah. Ada keperluan apa? Apakah Bu Indah memiliki informasi terkait lomba atau semacamnya? Atau Bu Indah ingin meminta bantuan untuk memeriksa ulangan kemarin?
Membuka pintu kelas, Bian dikejutkan dengan sosok Arin yang berdiri tepat di hadapannya. Sepertinya gadis itu berniat membuka pintu juga, terlihat dari gestur tangannya yang ingin memegang gagang pintu.
“Lo mau ke mana?” tanya Arin. Sempat ada jeda sebelum Bian menjawab.
“Ruang guru.” Bian pikir setelah ia memberi tahu, Arin akan antusias mengikutinya. Akan tetapi, gadis itu hanya mengangguk kecil dan mundur beberapa langkah, memberikan Bian jalan untuk keluar. Bian sedikit heran, tetapi ia tidak ambil pusing dan melanjutkan langkah menuju ruang guru.
Di sisi lain, Bu Indah terlihat pusing dengan tumpukan kertas ulangan di hadapannya. Wanita berumur lima puluh tahun itu memijat keningnya cukup lama. Yang paling membuatnya pusing adalah hasil ulangan Arin. Entah harus dengan cara apa lagi supaya Arin bisa mengikuti pelajarannya.
Dibandingkan perlakuannya dengan murid lain, perlakuannya dengan Arin tergolong lebih lembut. Beberapa kali wanita itu melakukan pendekatan dengan Arin, bertanya apa yang membuat anak muridnya itu kesulitan memahami pelajaran Matematika, bahkan ia sampai memberikan tautan pembahasan materi yang cukup mudah dimengerti. Namun, upaya itu ternyata belum cukup. Oleh karena itu, Bu Indah mencoba untuk menggunakan cara terakhir. Jika cara ini belum juga berhasil, mungkin Bu Indah harus memanggil orang tua Arin.