"Pantang menyerah" menjadi moto Arin kala berusaha mendapatkan perhatian dari seorang murid kesayangan guru matematika, yaitu Bian. Segala macam cara sudah Arin lakukan demi mendapatkan atensi dari Bian, tetapi tidak sedikit pun Bian meliriknya. Hin...
Arin memasang wajah cemberut. Sesaat kemudian dirinya menulis sesuatu di papan tulis. Sesaat kemudian, Bu Indah memijat keningnya. Tentunya murid yang lain mengetahui penyebab guru mereka tampak pusing. Arin tidak menulis jawaban dari soal yang ada di depannya. Yang ia tulis justru, 'maaf Bu, saya gak tau jawabannya hehe'. Murid-murid berusaha untuk tidak mengeluarkan suara tawa.
"Cuci muka sana. Muka kamu keliatan ngantuk gitu. Abis itu jangan lupa balik ke kelas." Dari nada bicaranya, Bu Indah sudah pasrah dengan Arin. Lantas gadis di depannya menunjukkan cengiran, lalu mengembalikan spidol. Sebelum pergi, Arin sempatkan melirik Bian. Rupanya pemuda itu memandangnya juga, tetapi dengan wajah datar.
Sepertinya pandangan Bian terhadap Arin semakin jelek setelah melihat kejadian tadi.
🄰+🄱=🄲
"Lo nggak kapok-kapok ya tidur pas pelajaran Bu Indah. Gue kalau jadi Bu Indah sih udah nyuruh lo keluar setiap jam pelajaran." Rayyan menggelengkan kepala melihat kelakuan Arin. Tidak hanya sekali dua kali Arin tidur saat pelajaran Matematika berlangsung, tetapi berkali-kali. Berulang kali Bu Indah menegur dan mengomeli Arin, tetapi pesan Bu Indah seperti angin lalu bagi muridnya itu. Kalau kata orang, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Belum lagi gadis itu tidak menunjukkan penyesalan atau rasa bersalah setelah mendapat teguran dari Bu Indah.
"Abis gue kalau denger Bu Indah ngomong berasa didongengin, ngantuk berat gue," sanggah Arin.
"Sekalinya nggak tidur malah sibuk ngegambar dia, Ray," sahut Kaila.
Ryyan berdecak kesal. "Model guru killer kayak Bu Indah aja capek ngadepin lo, Rin."
Arin memasang tampang cemberut ketika kedua temannya bersekongkol memojokkan dirinya. Ingin marah dan membela diri pun tidak mampu karena ia sendiri sadar akan perbuatannya yang tidak sopan. Namun, Arin tidak bisa menghilangkan kebiasaannya. Ketika Arin tidak menyukai sesuatu, ia tidak akan melirik hal itu sama sekali. Seperti Matematika. Arin tidak menyukai pelajaran tersebut karena menurutnya pelajaran itu sangatlah rumit dengan segala macam rumus. Karena tidak menyukai pelajaran tersebut, Arin mengabaikan penjelasan guru atau rumus-rumus di papan tulis. Beberapa kali Arin mencoba memahami apa yang dipelajari, tetapi pada akhirnya ia menyerah karena semua angka itu tidak bisa dicerna oleh otaknya.
Arin melihat Bian yang beranjak dari kursi. Buru-buru gadis itu meninggalkan bangku dan meninggalkan kedua temannya yang tidak henti mencemooh dirinya. Kehadiran Arin yang secara tiba-tiba membuat Bian sedikit terperanjat.
"Lo mau ke kantin? Ayo bareng," ajak Arin. Tidak lupa senyuman manis ia berikan pada pemuda yang telah memikat hatinya sejak awal bertemu. Namun, reaksi Bian berbanding terbalik dengan Arin. Jika Arin memasang wajah ceria, Bian memasang eskpresi dingin. Ekspresi itu tentunya hanya ia berikan ketika bertemu dengan Arin.
"Gue nggak pergi ke kantin."
"Terus lo mau ke mana?"
"Bukan urusan lo," balas Bian.
Arin melipat kedua tangannya. "Kalau lo nggak ngasih tau, gue ikutin lo ke mana pun lo pergi."
"Kalau gue kasih tau?"
"Gue tetep ikutin lo."
Jawaban yang tidak memuaskan dari Arin membuat Bian berdecak kesal. Jujur saja, sikap Arin yang terang-terangan mengejar Bian membuat pemuda itu merasa tidak nyaman. Kalau saja Arin bersikap sedikit "normal" kepada Bian, pemuda itu akan senang hati berteman dan mengajak gadis itu ke mana pun dirinya pergi.
"Eh, itu apaan?" Tiba-tiba saja Bian menunjuk ke arah belakang Arin, membuat gadis itu refleks menoleh dan melihat ke mana telunjuk Bian mengarah. Dahi Arin berkerut heran ketika tidak menemukan apa pun selain burung yang beterbangan di luar sana.
"Nggak ada apa- loh, Bian?!" Arin melihat Bian yang sudah berlari meninggalkan kelas yang hanya diisi oleh setengah murid. Lantas Arin mengejar pujaan hatinya tanpa peduli dengan panggilan Rayyan dan Kaila.
Di sepanjang koridor Arin berlari mengejar Bian, sesekali meneriaki nama pemuda itu. Aksi Arin saat ini mendapat perhatian dari sebagian siswa yang berlalu-lalang di sekitarnya. Masing-masing tatapan mereka menyiratkan berbagai makna. Seolah tidak memiliki rasa malu, Arin terus mengejar Bian dan memanggilnya.
Beberapa saat kemudian, langkah kaki Arin terpaksa berhenti karena sosok Bian telah luput dari pandangannya. Dengan napas terengah-engah, Arin memeriksa setiap sudut sekolah, berharap menemukan Bian di antara para siswa. Namun, pemuda itu benar-benar menghilang dari pandangan Arin. Gadis itu menghentakkan kakinya dan bergerutu karena tidak dapat menemukan calon pacarnya itu.
"Awas aja lo Bian. Sekarang lo boleh ngerasa risih dan sembunyi dari gue. Tapi, gue pastiin nanti lo nggak bakal tahan jauh-jauh dari gue." Seperti biasa, Arin selalu percaya diri dan yakin jika suatu hari nanti hati Bian akan luluh dan terpikat padanya.
"GUE PASTIIN LO BAKAL JADI PACAR GUE, BIAN! GUE UDAH MINTA TUHAN BUAT TULIS NAMA LO JADI JODOH GUE. JADI, TUNGGU AJA TANGGAL MAINNYA."
Teriakan Arin mengundang banyak tatapan dari siswa di sekitarnya. Tentunya mereka memiliki pemikiran sama terhadap Arin, gadis itu sudah tidak waras. Di sisi lain, Bian yang bersembunyi tidak jauh dari Arin mendengar teriakan gadis itu. Bulu kuduknya berdiri mendengar ucapan Arin yang begitu menggebu-gebu dan ambisius demi mendapatkan cinta Bian.
"Dosa apa gue sampai dikejar cewek sebrutal ini," keluh Bian.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Haloo, semua. Aku kembali. Seperti biasa kalau ada typo atau apa pun mohon dikoreksi. Jangan lupa vote dan komennya 😙
Kali ini aku mau coba up seminggu dua kali. Semoga konsisten yak wkwk.