"Are you happy?" Akhirnya keheningan mereka dipecahkan oleh pertanyaan Shaga, pria itu ikut duduk di samping Sera. Memperhatikan dalam radius lebih dekat.

"Biasa aja," balas Sera tidak sesuai dengan ekspresinya yang saat ini. Gadis itu memang tidak memberi seulas senyum di bibir rampingnya. Namun, mata Sera yang berbinar tidak bisa berbohong. Gadis itu bahagia dengan cara sesederhana ini.

Tidak ada yang tahu jika Sera sangat menyukai matahari terbenam, tapi ia tidak punya waktu untuk itu. Dirinya dituntut banyak hal, bagi Sera, kehidupannya bukan hanya untuk menikmati kesenangan. Sejak dilahirkan ia ditakdirkan bertarung untuk menghadapi dunia. Saat diam otaknya diperintahkan untuk memikirkan segala rencana.

Namun—sore ini, Sera duduk dengan tenang menatap sunset bersama seseorang yang ia anggap musuh.

******

Hari ini, hari terakhir sekolah sebelum berganti minggu lagi. Sera menuruni tangga seraya membalas pesan Shaga yang menunggunya di depan, ia melarang keras pria itu masuk. Dirinya sesaat menatap Hilma yang kini duduk dengan tenang di meja makan bersama tablet yang berada tepat di samping secangkir kopi panas.

Sera mendengus tidak acuh, kembali melanjutkan langkah tanpa repot-repot berpamitan, serta mengabaikan panggilan Bi Mawar yang menegurnya secara halus. Sejak kejadian dimana Hilma lebih membela putri haramnya, jangan harap Sera bisa beramah tamah. Ia sudah kelewat muak hingga rasanya jika dirinya pergi dari sini jauh lebih baik.

"Tuan...." Bi Mawar menatap sendu Hilma yang kini menatap kosong minumannya. Diabaikan tentu saja menyakitkan, Bi Mawar tahu itu.

Hilma tersenyum kecil, "Tidak apa-apa, Bi! Saya makan sendiri saja."

Sedangkan Sera, gadis itu melangkah keluar melewati gerbang yang dibukakan oleh penjaga rumah setelah menyapa Sera.

"Lo emang tukang paksa, ya!" semprot Sera setelah membanting pintu untuk menyalurkan rasa yang menjanggal di hatinya. "Apa? Mau taruhan apa kita?"

Memang kalian pikir kenapa Sera mau berangkat bersama Shaga pagi ini? Ya, karena dipaksa pria di sampingnya itu lah pasti. Pagi-pagi tadi Shaga mengiriminya pesan dan mengajukan permainan berupa taruhan. Kurang kerjaan apalagi pria itu?

"Kalau gue menang, lo harus mau gue anterin kemana-mana." Mendengar penuturan kurang kerjaan Shaga, otomatis mata Sera mendelik pada pria itu. Dengan kening berkerut dan otak berpikir cepat. Shaga ini sebenarnya ada rencana apa? Sedang ingin apa dari dirinya? Apa yang sedang Shaga pikirkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang memborbardir otaknya saat ini.

"Nggak punya kerjaan? Sampai harus jadi sopir pribadi gue?" tanya Sera tidak ingin repot-repot memikirkan kalimat yang lebih sopan. Gadis itu menatap Shaga yang masih setia duduk dengan tenang di sampingnya.

"Punya!" jawaban tidak memuaskan itu dihadiahkan dengusan muak oleh Sera. "Tapi... Kalau nganterin lo kemana-mana sebutannya sopir pribadi juga nggak apa-apa. Gue nggak masalah!"

"Ya terus kalau punya kerjaan kenapa kelakuan lo kayak gini, sih? Lagian gue nggak perlu lo, gue punya sopir sendiri, dan gue bisa bawa mobil sendiri. I can handle my self without your attention," ujar Sera seraya memasang seatbelt lalu melipat tangannya di depan dada  dan menatap jalanan.

Shaga diam sesaat, pria itu memainkan jemarinya di atas stir lalu melirik Sera. "Kita bahas itu lain kali aja, tapi seperti pembicaraan awal. Kalau gue menang, gue mau anterin lo kemanapun. Kalau lo menang, lo bisa minta apa aja dari gue," ujar Shaga lagi.

INVISIBLE STRINGWhere stories live. Discover now