"Dia memberinya uang, tempat tinggal, dan perhatian, tapi ... Liana juga tidak mau mengakui Steven sebagai anaknya, mereka berdua salah." jelas Rei.

Seketika Rive tersadar akan penjelasan itu, wajahnya yang awalnya merah padam karena kemarahan sekarang tergantikan dengan wajah yang lebih tenang dan pengertian.

"Kamu benar."

...

"Papa ... "

Gerald memeluk Galaksi erat sambil menghela nafas lega karena pada akhirnya ia bisa bertemu dengan putranya lagi, ia sangat khawatir saat Galaksi menghilang entah kemana kemarin.

Dengan penuh kasih sayang Gerald mengelus rambut putranya, segera hatinya sudah lega dan tidak se khawatir kemarin.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Gerald lembut.

"Aku baik-baik saja," jawab Galaksi sambil tersenyum.

"Syukurlah ... "

Perlahan Gerald membawa Galaksi keluar dari kamar itu, tapi langkahnya terhenti saat melihat Steven sedang duduk di ruang tamu sambil menonton TV, wajah Steven terlihat damai seperti tidak ada masalah.

Padahal ... Masalah sudah menunggu di depannya dan hanya tinggal melangkah beberapa langkah lagi.

"Galaksi, lo juga di sini?" ucap Steven saat menyadari keberadaan keduanya.

"Iya Steven, aku kemarin kesini untuk mengobrol bersama Kenzo," jawab Galaksi sambil tersenyum.

"Benarkah? Kenapa gak ngajak gue," kata Steven sambil cemberut.

"Iya maaf, lain kali gue ajak,"

"Oh ya, kemarin lo kemana? Gue pulang sendiri tahu ... Gue juga dengar ada yang ngikutin dari belakang," jelas Steven sambil mengingat malam kemarin.

"Iya maaf, gue lupa kemarin,"

"Kamu mau berkunjung ke rumahku lagi?" tawar Gerald.

"Memangnya boleh?" tanya Steven.

"Tentu saja boleh,"

"Okey ... Ikut."

Gerald tersenyum dan berjalan pergi menuju pintu utama mansion Jayendra, Steven, Galaksi mengikuti langkah Gerald seperti anak ayam.

"Jaga dia baik-baik." ucap Rive yang berada di depan pintu.

Gerald hanya diam dan meneruskan langkahnya, tatapan Rive terus mengikuti langkah Gerald yang semakin menjauh bersama Steven di belakangnya.

...

Di tengah malam yang sunyi, hujan petir mengguyur kota, hujan malam ini begitu deras dan berangin, membuat pohon-pohon bergoyang cepat mengikuti arah angin yang menggerakkan mereka.

Hingga sebuah pohon tumbang dan menghantam sebuah tiang listrik di kota, seketika lampu mati di sebagian kota, membuat malam ini semakin menakutkan, apalagi dengan petir yang terus menyambar.

Orang-orang di sebagai kota mulai terbangun dari tidurnya, mereka terkejut saat melihat sebagai lampu di kota mati karena pohon tumbang, malam itu terasa seperti mimpi buruk.

Di sebuah rumah tak jauh dari kota terlihat gelap gulita, rumah itu juga terdampak mati listrik, suasana di dalam rumah begitu mencekam dan gelap, tanpa ada penerangan sama sekali.

Seorang remaja terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk, nafasnya berat dan tersengal-sengal seperti habis berlari maraton, pandangan remaja itu beralih ke sekeliling ruangan yang gelap.

"Ada apa ini?" lirih Steven sambil menatap sekitar.

"Apakah lampunya mati?"

Perlahan ia berusaha mencari ponselnya yang berada di atas meja, kamar ini sangat gelap karena jendela sudah tertutup, hingga sebuah cahaya dari senter ponsel membuat ruangan ini sedikit lebih baik.

Ia berdiri dari tempat tidurnya, berjalan menuju jendela balkon dan membuka sedikit untuk melihat apa yang terjadi, saat ia melihat keluar hanya ada kegelapan.

"Sepertinya memang mati lampu, gue harus nyalain lilin," ucap Steven sambil berjalan menuju lemari.

Beberapa lilin mulai menerangi ruangan ini, membuatnya jauh lebih baik dari pada tadi, ia duduk sambil menghela nafas, sekarang kamarnya sedikit lebih terang.

"Panas juga, kapan selesainya ini? Mana hujan deres banget," gumam Steven kesal.

"Oh iya, gue kan punya kipas portabel, tapi ... Dimana ya?"

Ia mulai berjalan pergi dari kamarnya untuk mencari keberadaan kipas portabel yang ia taruh di ruang tamu, saat ia menginjakkan kakinya ke ruang tamu tiba-tiba saja suasananya berbeda.

Rasanya seperti sunyi, sepi, dan menakutkan, tapi cahaya lembut dari senter ponsel memecah suasana yang tidak enak itu, membuatnya sedikit merasakan lebih baik dari pada tadi.

"Itu dia," ujar Steven.

Ia mengambil kipas portabel di meja, dan mencoba menyalakannya apakah itu masih berfungsi atau tidak, ternyata kipas itu berputar pertanda kalau batreinya masih ada.

"Suara apa itu?" bingung Steven saat ada suara pintu terbuka dari arah belakang.

Dengan curiga ia berlari menuju pintu untuk mengecek bunyi pintu tersebut.

"AAAAAAA!!!!"

My name is Steven ( End ) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora