Souvenir hotel. Sayang kalau tidak ada yang memakainya, kan gratis.

"Sebenarnya aku masih bingung, aku tidak mungkin mengatakan padanya kalau aku menyukainya. Aku juga tidak tahu apa Nash memiliki perasaan yang sama seperti apa yang kurasakan sekarang atau tidak." Ucapku panjang lebar.

'Aku sih t-...'

"Hazzel??"

Tutt ...

Aku menarik ponselku yang semula menempel pada daun telingaku dan memandangi layar yang menampilkan panggilan berakhir dari Hazzel. Sambungannya terputus. Pasti sinyalnya sedang tidak bagus, padahal aku sedang membicarakan hal yang serius pada Hazzel.

"Edelweiss."

Aku tersentak ketika tiba-tiba mendengar suara yang benar-benar familiar di telingaku. Orangnya panjang umur sepertinya, aku membatin.

Kutarik tirai rotan yang menutup jendela kamarku kemudian membukanya dan melihat keluar. Tepat di luar pintu rumahku, Nash berdiri. Ia mengenakan kaos putih dengan garis hitam, jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya, serta celana jeans. Mau kemana malam-malam begini?

"Nash??" Panggilku.

Nash mendongak keatas, mencoba melihat padaku yang masih berada di jendela.

"Hey!" Dia melambai kecil padaku.

Aku memberikan jari telunjukku, mengisyaratkan padanya untuk tunggu sebentar. Dia tersenyum dan mengangguk.

"Edelweiss, ada yang mencarimu." Kudengar suara ibuku dari lantai bawah.

"Iya." Seruku agar ibuku dapat mendengarnya.

Segera kututup jendelaku dan berlari cepat ke lantai bawah. Kedua, orangtuaku baru saja keluar dari kamar mereka dengan pakaian rapih. Ayahku sedang mengancingkan kemeja putihnya, sementara ibuku merapikan helaian rambutnya dengan sisir, aku tidak sempat menyapa mereka, karena kupikir Nash pasti sedang menunggu diluar.

Dengan cepat kuputar kenop pintunya, terpancar jelas wajah Nash yang berseri saat aku membuka pintunya.

"Hey, Nash. Ada apa?" Tanyaku tanpa basa-basi.

Kembali ia memasukkan kedua telapaknya pada saku celananya, kurasa ini sudah menjadi hal penting bagi hidupnya, "hmm ... kemarin kan katamu hari ini kau tidak ada acara, jadi aku ingin mengajakmu jalan." Ungkapnya.

Aku mengangkat kedua alisku, "hah? Jalan, kemana?"

"Ya, terserah. Mungkin kita bisa pergi makan sesuatu?"

"Ada angin apa kau mengajakku pergi makan malam, setelah dua hari kau sama sekali tidak menyapaku." Kataku agak sarkastis.

Dia tertawa, "kau pikir aku gadis-gadis bermuka dua yang mengajak sahabatnya pergi hanya saat ia membutuhkannya?" Cemohnya, ia sedikit mencondongkan tubuhnya untuk mendekat padaku.

"Kadang." Kusandarkan punggungku di ambang pintu sambil bersedekap.

Nash menghela nafas pelan, "ayolah, Edelweiss. Sudah lama kan kita tidak pergi bersama? Seperti saat SMA dulu." Katanya, "aku sudah berusaha mencari alasan untuk pergi denganmu pada orangtuaku." Lanjutnya. Yah, orangtuanya tidak terlalu menyukaiku, entah apa yang membuat mereka berpikiran bahwa aku akan menegatifkan pikiran anak mereka yang terlihat seperti bayi besar yang butuh pelukan.

Memang saat SMA kami sering pergi menghadiri beberapa festival yang diadakan di kota ini, biasanya, pada malam hari, jadi kami menyebutnya jalan-jalan malam.

"Oke-oke, aku ganti baju sebentar." Kataku bergerak masuk. "Masuk saja dulu,"

Nash tersenyum, raut wajahnya dipenuhi rasa puas. Dia mengekor di belakangku masuk ke dalam rumahku.

A Half Beat ➳ Luke.Hemmings [ON-HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang