Bagian 11 - 2

245 64 5
                                    

Persis seperti yang kuduga. Mobilku baru bisa diambil tiga hari kemudian. Baru saja kujemput dan dalam perjalanan pulang—dari radius sekitar 10 meter di depan sana—aku melihat perempuan yang mirip dengan Kiya tengah berjongkok di pinggir jalan.

Ya, meskipun hanya punggungnya yang terlihat. Aku merasa yakin itu dia.

Yang jadi pertanyaan. Jika benar itu Kiya, apa yang sedang dia lakukan di pinggir jalan?

Tanpa pikir panjang, aku memarkirkan mobilku di pinggir jalan dan menghampiri perempuan itu. Semakin dekat jarakku dengannya, semakin memelan langkahku. Tinggal beberapa langkah lagi dan aku bisa melihat apa yang sedang dia lakukan.

Di depannya ada seekor kucing dan piring berisi makanan.

“Kiya?” panggilku pelan.

Perempuan itu perlahan menengok, bersamaan dengan kucing itu yang juga ikut mendongak menatapku. “Pak Rayyan?”

Aku mengulas senyum. Ternyata benar dia. “Kamu ngapain?” tanyaku.

Kiya melirik kucing di depannya sebelum menjawab, “Kasih makan kucing, Pak.”

Aku ingat, saat aku masih menyamar sebagai Ian. Kiya sering menceritakan kucingnya, yang dulu dia temukan di jalan. Tapi untuk kegiatan satu ini, Kiya tidak pernah membaginya.

Aku ikut berjongkok di sebelahnya dan memerhatikan kucing berbulu hitam itu makan. Lalu pandanganku beralih pada mukanya yang penuh luka cakaran yang sudah mengering maupun masih segar.

Hidup liar di jalanan sepertinya cukup berat untuknya.

Tanganku bergerak, bermaksud mengelusnya sebagai penghiburan.

“Jangan, Pak!” Tiba-tiba Kiya menangkap tanganku sebelum berhasil sampai di kepala kucing itu.

Alisku terangkat. Aku menoleh ke arahnya penuh tanda tanya. Apa yang salah? Sampai-sampai Kiya yang sering menghindariku, kini memegang tanganku.

“Dia galak sama orang baru, Pak.” Kiya melepas tanganku lalu mengalihkan pandangannya.

“Kok tau? Kamu pernah dicakar?” tanyaku.

Kiya mengangguk samar. “Pernah.”

“Oh ya?”

Kiya mengulurkan tangan kanannya. Di sekitar pergelangan tangannya, terdapat bekas luka 4 cm. Namun Kiya buru-buru menarik tangannya. “Oh, bukan.” Menggantinya dengan punggung tangan kirinya. “Yang ini.”

Aku mengamati bekas luka di tangan kirinya. Cukup panjang, tapi tidak sedalam di tangan kanannya. “Bekas luka yang tadi kelihatan lumayan dalam,” kataku sambil mengendik ke arah tangan kanannya.

Kiya ikut melirik tangan kanannya. “Ini kucing saya yang nyakar.”

“Enggak sakit?” Aku mengernyit membayangkan lukanya.

“Sakit, Pak.” Kiya mengangkat pandangan yang sejak tadi menunduk kemudian tersenyum kecut. “Tapi hati saya lebih sakit.”

Mataku mengerjap dua kali. Kata-katanya barusan sedikit lucu, sekaligus memancing rasa penasaranku. “Kenapa hati kamu?”

“Sakit. Soalnya saya udah rawat baik-baik kayak anak sendiri, sayang sama dia, tapi malah nyakitin saya, Pak,” papar Kiya.

Aku mengulum bibirku, menahan senyum karena penjelasannya barusan. Perasaannya yang terlalu sensitif, entah bagaimana semakin lucu di telingaku. Kucing saja bisa bikin dia sakit hati, manusia apa lagi.

“Kamu sering kasih makan kucing liar begini?” tanyaku mengalihkan topik.

“Sering, Pak,” jawabnya tanpa meninggalkan perhatiannya dari kucing hitam itu.

“Kamu ada rekomendasi makanan kucing? Siapa tau saya ada waktu juga untuk kasih makan kucing-kucing liar dekat rumah.”

Kiya menoleh cepat. “Banyak kok, Pak. Ada yang kering sama basah juga. Tinggal disesuaiin aja sama budget.”

“Ada tips and trik khusus? Kayak cara hadepin kucing galak.” Aku melirik singkat ke arah kucing hitam yang sudah menghabiskan makanannya.

“Apa, ya, Pak?” Kiya nampak berpikir, namun antusias. “Kalau emang dia enggak mau, enggak usah dipaksa. Ada waktunya dia bakal terbiasa lihat kita, dari situ sedikit demi sedikit dia mendekat sendiri kok, Pak.”

“Ada lagi?”

Kiya mengangguk dengan mata berbinar. Ini pertama kali aku melihatnya—secara langsung—bersemangat membahas sesuatu. “Jangan kasih makan mereka secara terjadwal, Pak.”

Tidak ada kecanggungan. Tidak ada rasa enggan. Dan tidak ada Kiya yang selalu mengalihkan pandangannya dariku. Sekarang, aku jadi tahu satu lagi hal yang membuatnya bersemangat.

Aku menatapnya lurus-lurus dan bertanya, “Kenapa gitu?”

Kiya tersenyum tipis sebelum menjelaskan. “Kucing itu pinter, Pak. Mereka bakal hafal waktu-waktu di mana kita dateng kasih mereka makan. Takutnya, tiba-tiba ada halangan hari itu dan enggak bisa dateng. Mereka bisa nunggu seharian. Apalagi kalau kita tiap hari dateng, mereka jadi terus harepin kita dan enggak survive lagi cari makan sendiri.”

“Ada lagi?” Aku masih ingin mendengar suaranya.

“Ada. Usahain Bapak bawa wadah sendiri buat mereka makan. Biar tetangga-tetangga Bapak enggak marah karena sampah-sampah yang ditinggal. Atau sisa makanan kucingnya yang akhirnya dikerubutin semut.”

Aku mengangguk-angguk. “Masih ada?”

“Emm, itu aja, Pak.”

“Makasih tipsnya.”

“Iya, Pak.”

Aku dan Kiya kompak menoleh ke depan, namun kucing hitam itu ternyata sudah meninggalkan piringnya dan berkelana entah ke mana. Ujung ekor pun sudah tak terlihat.

Kiya memasukkan sisa makanan kucing itu beserta piringnya ke dalam kresek kemudian melirikku ragu-ragu. Keberanian dan antusiasnya beberapa menit lalu sudah hilang.

“Pak, saya … pamit pulang. Udah mau gelap.”

Aku mendongak, menatap langit, lalu mengintip jam di pergelangan tanganku. Dia memang harus pulang sekarang. Aku mengangguk dan bangkit berdiri diikuti Kiya.

“Kali ini saya enggak nawarin kamu tumpangan karena tau kamu bakal nolak.”

Kiya mengangguk sembari tersenyum. “Saya pamit, Pak.”

“Iya.”

Tidak ada keraguan sama sekali di wajah Kiya ketika dia berbalik dan melangkah meninggalkanku. Bahkan untuk sekadar menoleh, melempar senyum, sebagai bentuk perpisahan untuk kedua kalinya pun tidak.

Aku geleng-geleng melihatnya semakin menjauh. Perhatianku baru teralihkan saat ekor mataku menangkap makhluk hitam berbulu yang mendadak muncul tak jauh dari tempatku berdiri.

Itu, kucing yang tadi Kiya beri makan.

Tanpa sadar, aku memerhatikannya selama beberapa detik. Dan mendadak, sebuah pikiran acak muncul di kepalaku.

Aku mengernyit. Heran dengan diriku sendiri.

Kucing hitam itu mendongak menatapku. Tidak mau kalah, aku balas menatapnya—meski kepalaku tengah mempertimbangkan pikiran acak barusan.

Apa harus kulakukan atau cukup jadi gagasan gila saja yang kebetulan tiba-tiba muncul?

Ketika kucing itu mengeong dengan muka sangarnya, ujung bibirku perlahan terangkat. Kurasa, meongan barusan artinya iya. Kucing ini setuju denganku.

“Lo yang tanggung jawab,” kataku pada kucing itu.

Segera aku merogoh saku celanaku dan mengeluarkan ponsel dari sana. Mencari kontak Andra lalu menempelkannya di telinga. Tidak butuh waktu lama hingga panggilanku tersambung.

“Dra, kirimin data salah satu peserta lomba ke gue.”

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

It's You, But Not YouWhere stories live. Discover now