Bagian 01 - 1

1.9K 230 13
                                    

Now Playing | Lim Seul Ong - YOU (feat. Beenzino)

Happy reading❤️




💌 💌 💌





Aku lupa kapan tepatnya, tapi seingatku ketertarikanku menulis dimulai saat aku duduk dibangku SMP. Dan pemicunya adalah ketidaksetujuan pada jalan cerita film atau sinetron yang kadang ikut kutonton bersama Mama. Sampai akhirnya aku berpikir, bagaimana jika aku menulisnya sendiri agar sesuai dengan apa yang aku mau?

Dan setelah kulakukan, ternyata menulis juga membuatku lega. Aku bukanlah tipe manusia yang mudah mengutarakan perasaan. Jika ada masalah atau hal yang mengganggu, bagiku lebih baik menyimpannya sendiri.

Menceritakannya pada orang lain tidak menyelesaikan masalahku.

Dan jangan pernah mengatakan kalimat memuakkan ‘Cerita ke orang lain bisa meringankan beban kamu’ karena aku pernah mencobanya dan tidak merasakannya sama sekali. Tidak ada yang berubah. Justru masalah lain bisa muncul kalau salah memilih tempat bercerita.

Itu kenapa menulis membantuku membagikan apa yang sering kusimpan sendiri.

Hingga aku sampai dititik di mana aku menganggap menulis bukan lagi sekadar hobi, tapi cita-cita. Aku mau tulisanku dibaca banyak orang. Aku mau tulisanku menjelma buku dan dipajang di rak best seller, bukan hanya jadi satu di antara jutaan tulisan di platform online.

Karena itu aku masih berusaha sampai sekarang, menulis dan terus menulis meski Papa menentang keras. Iya, Papa tidak setuju kalau aku serius menulis. Alasannya cuma satu, menurutnya pekerjaan sebagai penulis tidak pasti. Papa lebih ingin aku menyelesaikan kuliah, bekerja, dan menerima gaji setiap bulan. Tapi aku tidak ingin melepas impianku begitu saja, makanya aku tetap menulis secara sembunyi-sembunyi. Seperti siang ini.

“Kiya.”

Rentetan kata di dalam kepalaku mendadak lenyap ketika namaku dipanggil diikuti pintu yang diketuk pelan. Aku menengok singkat, buru-buru menutup laptop kemudian meraih satu novel terdekat di rak samping meja.

Aku membuka halaman novel secara asal lalu menyahut, “Enggak dikunci, Mah.”

Sebenarnya Mama tidak menentang keseriusanku dalam bidang menulis tapi karena ketegasan Papa, mau tidak mau Mama jadi ikut mengawasiku. Kalau sampai ketahuan, laptopku bisa disita.

“Kamu kuliah jam berapa?”

Aku berbalik, menumpukan lengan di sandaran kursi dan menatap Mama yang berdiri diambang pintu. “Jam satu.”

Mama yang usianya genap setengah abad tahun ini mengangguk. “Masih sempat. Ayo makan dulu.”

Meski jantungku masih berdetak tidak karuan, aku berusaha mengulas senyum tipis. “Iya, Mah. Aku rapiin buku dulu kalau gitu,” kataku sambil mengangkat novel yang tadi pura-pura kubaca.

Mama mengangguk. “Mama tunggu di bawah.” Kemudian pintu tertutup.

Sayang sekali, siang ini aku tidak bisa menyelesaikan satu bab cerita. Dengan berat hati aku bangkit dari duduk, mengembalikan novel ke tempat semula lalu memasukkan laptop ke dalam ransel. Terpaksa aku akan melanjutkannya di kampus, kalau menunggu jadwal kuliah selesai semangatku bisa hilang duluan.

Mama meletakkan sayur kangkung di tengah meja, menarik kursi lalu duduk di hadapanku. Walaupun punya tiga anak, seperti biasa memang cuma ada aku yang menemani Mama makan siang. Itu pun karena kuliahku siang. Papa tentu saja bekerja, Asmita kakakku juga telah bekerja dan memilih menyewa kos yang dekat dengan kantornya, sementara Fahry adikku masih berada di sekolah.

It's You, But Not YouWhere stories live. Discover now