Bagian 10 - 1

430 81 3
                                    

🎶 Lee Hi - For You (feat Crush)





💌💌💌





Biasanya, ada masa-masa di mana aku menggebu-gebu dalam menulis. Rasanya seperti aku ingin terus menulis dan di saat bersamaan, ide-ide sedang berkeliaran di kepalaku.

Perpaduan yang pas.

Makanya aku tidak pernah menyia-nyiakannya. Meski aku harus tetap kucing-kucingan jika menulis di rumah-bahkan di kamarku sendiri.

Dengan alat seadanya. Ponsel dan keyboard wireless. Sebenarnya, pagi tadi aku meminta laptopku pada Papa karena ada tugas yang memang harus aku kerjakan. Tapi aku tidak berani menggunakannya untuk menulis naskahku.

Lebih baik aku mengambil jalan aman. Keyboard yang berukuran 10 inci ini pun mudah disembunyikan kalau-kalau mendadak Papa atau Mama mengetuk pintu kamarku.

"Kiya," panggil seseorang di luar sana diikuti ketukan pintu.

Kan! Situasi semacam ini yang aku takutkan.

Aku bergegas menyembunyikan keyboard-ku ke lemari pakaian lalu membuka pintu kamarku. "Kenapa, Pa?"

Papa melihat melewati punggungku. Mungkin memeriksa apa aku tidak melakukan apa yang dilarang Papa. "Besok kamu mau ikut jenguk Tante Suci?" Papa mengembalikan pandangannya padaku.

"Malam?"

"Pulang kerja Papa langsung mau ke sana. Biar bisa agak lama temenin Tante kamu."

Aku tidak langsung menjawab, otakku sedang berusaha mengingat jadwal kuliahku esok hari.

"Atau kamu mau bareng Ratih? Tadi Papa telepon, katanya sore dia selesai ngajar," tambah Papa.

Tante Suci adalah kakak Papa. Dan kini, beliau dirawat di rumah sakit. Untungnya bukan penyakit serius. Hanya kelelahan dan butuh istirahat. Namun yang membuat Papa sedikit khawatir adalah Tante Suci bukan orang yang gampang tumbang. Makanya begitu mendengar kabar dari anak Tante Suci-Kak Ratih-subuh tadi, Papa langsung ingin menjenguk.

"Oh, aku sama Kak Ratih aja kalau gitu. Biar Papa enggak jauh jemput aku," kataku.

"Ya udah." Papa kembali menatap melewati punggungku. "Laptop kamu mana?"

"Masih kupake, Pa. Besok mau kubawa lagi ke kampus," jawabku jujur.

Papa mengangguk kemudian menepuk pelan pundakku. "Papa percaya sama kamu."

Percaya sama aku? Aku tersenyum getir mengantar langkah Papa yang menjauh dari kamarku. Kalau memang Papa percaya sama aku, kenapa aku tidak boleh melakukan apa yang aku suka?

Aku mengembuskan napas panjang lalu menutup pintu dan menguncinya.

Daripada memikirkan alasan kenapa Papa terus melarangku menulis, lebih baik aku melanjutkan naskahku. Aku harus terus melangkah hingga sampai ke tahap yang disebut sukses. Untuk membuat pandangan Papa berubah tentang seorang penulis. Yang artinya, termasuk juga aku.

Belum setengah jam aku berkutat dengan deretan kata, muncul notifikasi di layar ponselku. Dari orang yang akhir-akhir ini dekat denganku.

Ian : Kiya, lagi ngapain ?

Perlu beberapa detik lamanya sampai aku bisa memutuskan. Meladeni atau mengabaikan. Padahal dulu, sebelum bertemu, chat Ian adalah apa yang paling kutunggu-tunggu setiap harinya.

Selalu ada bahan obrolan di antara kami berdua. Sampai kadang, aku bingung bagaimana cara menyudahinya.

Sekarang, aku pun bertanya-tanya kenapa Ian jadi sosok yang jauh berbeda. Seakan-akan bukan orang yang selama ini kukenal.

Ian memang tetap rutin menghubungiku via chat. Tapi isinya hanya basa-basi ringan. Tentang apa yang aku lakukan hari ini. Tugas apa yang sedang aku kerjakan. Apa yang aku suka dan tidak suka.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan caranya ingin terus menjalin komunikasi denganku. Hanya saja, kenapa obrolan kami tidak seperti dulu lagi. Kalaupun aku mencoba memulai, Ian selalu mengalihkan pembicaraan. Mencegahku membahas tentang buku, tulisanku, atau segala yang berhubungan dengan itu.

Jujur saja, meski meladeninya dan sesekali mengiakan ajakannya bertemu, aku tidak sesemangat dulu.

Pernah, aku terpikir. Mungkin yang salah adalah aku, bukan Ian. Rasa penasaranku tentang Ian telah terpenuhi ketika kami akhirnya bertemu, karena itu aku mulai melihatnya berbeda.

Makanya, sampai saat ini aku tetap diam dan membiarkan hubungan kami mengalir apa adanya. Siapa tahu, suatu hari nanti pertanyaanku mendapat jawaban.

Aku meraih ponselku dan membalas pesan dari Ian. Tidak lama, balasan darinya masuk. Bersamaan dengan satu lagi pesan masuk dari orang yang tidak terduga. Pak Rayyan. Mataku melebar diikuti dengan punggungku yang menegak.

Pak Rayyan : Malam, Kiya.

Saya mau bahas naskah kamu, kalau kamu gak sibuk.

Dua kali. Tiga kali. Bahkan empat kali aku mengeja pesan dari Pak Rayyan. Aku merasa familier walau ini menjadi pertama kalinya Pak Rayyan mengirimkan pesan ke nomor pribadiku.

Entah kenapa, membaca pesannya, mengingatkanku pada Ian.

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang