Air Mengalir

15 0 0
                                    

Angin sore berhembus lembut, merenggangkan daun-daun pohon mangga yang menjulang di halaman rumah itu. Melody dan Dimas, sedang asik memainkan frisbee di antara bayangan-bayangan yang terpantul di rumput hijau. Di sudut lain halaman, terlihat tumpukan kotak yang bertuliskan nama mereka, persiapan untuk pindah sementara ke rumah Tante Iren.

Tatapan Tante Iren dari balik jendela terlihat sendu, merenung dengan perasaan campur aduk di hatinya saat ia mengawasi mereka bermain. Mereka akan segera meninggalkan rumah ini, meninggalkan semua kenangan manis dan pahit keluarga mereka. Tempat di mana mereka dibesarkan. Tante Iren menghela nafas panjang, menyadari bahwa ini bukanlah hal yang mudah. Meskipun hatinya meronta ingin menangis karena kepergian kakak satu-satunya, kedua anak ini lebih membutuhkan dukungan yang tak tergoyahkan dari dirinya. Mereka telah kehilangan pondasi penting dalam hidup mereka.

Sementara Melody dan Dimas masih asyik bermain di halaman belakang. Melody melemparkan frisbee dengan lincah, sementara Dimas dengan sigap menangkapnya di udara. Mereka saling tertawa dan berbalas lempar dengan penuh antusiasme, namun di balik senyum mereka, tersembunyi perasaan sedih yang mulai menyelinap perlahan.

Setelah beberapa saat bermain, mereka berhenti untuk istirahat di bawah naungan pohon mangga. Hembusan angin sepoi-sepoi menyapu wajah mereka, membawa aroma harum buah mangga dari pohon itu.

"Bagaimana hari ini, Mel?" tanya Dimas, suaranya agak serak.

Melody menatap langit, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Hari ini... cukup baik, aku kira. Capek sedikit tapi kata Miss Lulu aku cukup bagus tadi."

Dimas mengangguk, memahami perasaan adiknya.

"Sama, di sekolah juga baik-baik aja. Senang bisa main seperti ini, lain kali lagi ya."

Melody tersenyum lemah, menghapus keringat di dahinya. "Ya, bermain memang bisa membuat kita lupa sejenak akan segala masalah, bukan?"

Mereka berdua terdiam sejenak, merenungi perasaan yang tak terucapkan. Meskipun berusaha pura-pura normal, mereka tahu bahwa hari itu adalah salah satu dari sedikit hari terakhir mereka di rumah yang telah menjadi saksi bisu kebahagiaan dan kedukaan keluarga mereka.

Di dalam rumah, suasana hening mengisi udara. Tante Iren sibuk mengatur beberapa barang-barang di ruang keluarga bersama Melody. Sedangkan Dimas, dia kini berdiri di tengah kamar orang tua mereka.

Di kamar ini, suasana hening terasa begitu kuat. Dimas duduk di atas tempat tidur yang terasa begitu kosong tanpa kehadiran orang tuanya. Matanya melintas ke arah lemari besar di sisi ruangan, tempat di mana baju-baju dan barang-barang kenangan kedua orang tuanya tersimpan.

Dengan langkah ragu, ia mendekati lemari tersebut dan membukanya perlahan. Matanya melintas ke arah kotak yang ditaruh di sudut lemari, kotak kecil kayu dengan penutup yang terkunci rapat. Dengan tangan gemetar, Dimas mengambil kotak tersebut dan membukanya.

Di dalamnya, terlihat beberapa benda kenangan, foto-foto masa lalu, surat-surat, dan sebuah buku berwarna coklat tua. 

Dimas bisa merasakan tangan nya bergetar begitu ia menarik keluar buku tersebut. Buku itu terlihat usang, warna sampulnya kini telah pudar. Namun, ada keindahan tersendiri yang terpancar dari buku tersebut. Di sampul depannya terdapat lukisan bergambar pelangi dan bunga-bunga yang dihias dengan indah. Cat air di sampul itu mungkin sudah tergerus oleh waktu tapi, Dimas tertegun melihat keindahan sampul buku itu, tangan nya dengan singkat menyusuri sampul buku itu. Dimas melihat dengan sekilas sebuah inisial,

“I.N”

Sebelum ia sempat membuka halaman pertama, suara Melody memanggilnya dari luar kamar. Suara itu memecah perhatian nya pada buku itu.

Bunga Terakhir MelodyWhere stories live. Discover now