Buru-buru Zoya mengeluarkan tablet-nya, ponsel gadis itu sudah mati sejam tadi, dan ia lupa membawa charger. Beruntung segala data yang biasa Sera minta secara tiba-tiba selalu ia backup di tablet-nya. Jika tidak bisa tantrum Sera itu.
"Besok, sekitar jam 7 malam sampai jam 9."
Sera mengangguk mengerti, "Listen? Besok. Karena gue udah nentuin waktunya, lo gue kasih hak buat nentuin tempatnya dimana. Tenang aja, gue anaknya bukan tipe yang bawel. Nanti Zoya yang ngabarin lo, gue nggak bisa ditempat yang kayak gimana."
Shaga kehabisan kata-kata mendengar segala kalimat Sera. Gadis ini sinting? Atau bagaimana? Shaga sangsi untuk bisa bersikap sabar menghadapi manusia jadi-jadian yang baru ia temuin tadi siang. Bagaimana bisa hidupnya yang tenang direcoki manusia seperti ini.
"Gue ada setuju? Lo jangan seenaknya. Gue nggak bisa, gue punya kegiatan lain besok."
Sera mengedikkan bahu tak acuh, "Bukan urusan gue. Batalin aja. Lo tahu susah ngatur jadwal yang udah Zoya susun untuk sebulan penuh. Jadi, hargai waktu yang udah mau gue bagi untuk lo? Okay! Senang jadi patner lo, Shaga."
"Oh.... Satu lagi. Where have I been all this time? Why didn't I realize there was a guy as cool as you?"
Zoya yang mendengar hal itu seketika menganga lebar, ia menatap Sera begitu horor, seolah gadis itu baru saja berubah menjadi salah satu makhluk paling mengerikan di dunia. Sedangkan, Shaga hanya bisa mengumpat dalam hati. Bukannya tersanjung, ia justru semakin kesal. Tangannya dengan kuat meninju angin sesaat setelah kepergian Sera yang langsung diikuti oleh Zoya.
*****
Sera duduk dengan tenang seraya memandang jalanan yang sedang macet, baju yang ia gunakan untuk bermain golf masih terpasang dengan rapih di tubuhnya. Hanya terlihat guratan lelah di wajah yang terkadang menampilkan raut datar dan kesal. Beberapa saat orang-orang lupa, orang-orang seperti Sera, orang-orang yang terlihat bisa menggapai apapun dengan uangnya butuh begitu banyak pengorbanan untuk melakukan itu. Tentu saja, Sera dulu tidak menginginkan jadwal sepadat ini. Sampai akhirnya ia terbiasa dan menikmati.
Tidak ingin dipaksa masuk club golf, berenang, mengikuti berbagai kelas bahasa, kelas berkuda, atau hal-hal yang seharusnya tidak dirasakan oleh gadis seumuran dirinya.
Helena memaksa Sera agar lebih unggul dari sepupu-sepupu jauhnya, tidak ingin harta keturunan Jenggala jatuh ke kerabat jauh mereka. Sera dipaksa hingga ia mulai terbiasa dan mati rasa.
"Orang tuanya terlalu stupid, mereka nggak mikir apa? Ini hujan, bawa anak sekecil itu untuk minta-minta uang? She's really crazy!" gumam Sera menatap seorang wanita yang sedang menggendong bocah balita seraya meminta-minta.
"Mereka butuh makan! Kalau nggak gitu, nggak bisa makan, Sera." Balas Zoya seraya melirk gadis itu sesaat, kemudian kembali menatap tablet di pangkuannya.
"Seharusnya jangan punya anak kalau cuman mau ngajak anaknya susah, dia yang nggak bisa beli makan, kenapa anaknya juga harus ikut-ikutan nggak makan? Orang-orang kenapa nggak bisa mikir sih, punya anak itu bukan cuman soal ngelahirin, tapi juga harus bisa menuhin nafkah lahir batinnya. Mereka ini bener-bener nggak punya otak, lo jangan kayak gitu nanti! Kalau belum siap mental dan masih miskin lebih baik nggak usah nikah atau sampai bikin anak!"
Sera mendumel kesal, gadis itu terus memperhatikan dengan raut wajah mengerut. Ia sudah duduk tegak tidak lagi bersender di sandaran kursi empuknya.
"Umur 21 gue mau nikah!"
"Dibilang nggak usah nikah, jadi asisten pribadi gue aja sampai gue tua." Sera menggeram kesal, kali ini kekesalannya bukan karena pengemis di lampu merah, tapi karena Zoya yang berniat pensiun dini dari dirinya.
YOU ARE READING
INVISIBLE STRING
RomanceKaya raya, cantik, trendsetter, pintar, dan mandiri. Sempurna bukan? Ya, itu Seraphina Zephyra Jenggala. Gadis cantik yang digadang-gadang bisa menjadi Miss Indonesia beberapa tahun lagi jika tubuh gadis itu bisa semakin bertumbuh tinggi. Namun, mem...
