Pt-9

13 4 0
                                    

Akhirnya akibat luka—yang sebenarnya bukan aku langsung yang mengalami—Caraka langsung membawaku ke rumah sakit, disusul oleh ibu dan Mbak Meli. Katanya mereka khawatir kalau akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada tubuhku. Makanya Caraka bersikeras membawaku ke rumah sakit meski aku menolaknya.

Sederhana, tapi mampu membuat hatiku menghangat.

Namun, sesaat kemudian aku tersadar. Tidak boleh! Masa iya aku jatuh cinta sama gebetan mama sendiri? Aku menggeleng sambil mengibas-ngibaskan tangan di udara, seolah ingin mengusir perasaan itu dari hadapan.

"Kamu ngapain?" Rupanya gerakanku berhasil mengundang tanya Caraka yang duduk menungguku di UGD sembari menunggu ibu dan Mbak Meli mengurus administrasi.

"Makasih, ya. Aku enggak tau bakal gimana kalo kamu enggak datang." Aku memilih mengabaikan pertanyaan yang tadi dilontarkan Caraka dengan berterima kasih pada laki-laki itu.

Lama Caraka membisu. Pandangannya terfokus ke arahku sebelum mendesah panjang lalu berkata, "Aku bakal bantu kamu laporin mereka. Dengan begitu, mereka enggak akan berani ganggu kamu lagi."

Namun, bagaimana? Aku bahkan tidak tahu apakah ada saksi mata atau tidak. Dan lagi sekolah kami tidak memiliki CCTV untuk memantau murid-muridnya. Jadi, tidak ada bukti sama sekali yang bisa membuat Fara dan antek-antek gilanya itu dihukum.

"Enggak bisa, Caraka. Enggak ada bukti, enggak saksi. Gimana kalau mereka justru memutar balikkan fakta?" Aku berujar, lalu mengubah posisi yang semula duduk bersandar menjadi duduk tegak dengan kaki yang masih kuselonjorkan.

Di dunia ini, tidak sedikit manusia picik yang suka membalikkan keadaan. Semacam playing victim, pelaku yang berteriak sebagai korban. Koar-koar sana sini agak diberi hati dan belas kasih oleh orang-orang. Tidak lupa melabeli si korban sebagai orang jahat yang membuat dia terluka.

"Kita laporin mereka cukup ke pihak sekolah aja. Lagian tadi banyak orang yang liat aku gendong kamu, kok. Banyak juga yang nanya-nanya kamu kenapa. Aku juga udah laporin ke ketua OSIS biar mereka yang menyampaikan." Caraka berbicara lugas.

Aku menundukkan pandangan ke arah cermin kecil yang tadi diberikan oleh Mbak Meli. Di sana aku dapat melihat wajah yang lebam serta pipi yang membengkak akibat tamparan. Caraka benar, bagaimanapun juga mereka harus mendapatkan hukuman karena sudah berani merundung orang di wilayah sekolah.

Namun, jika pihak sekolah tidak bisa menghukum cewek-cewek sinting itu, aku pasti akan membalasnya. Tangan-tangan sialan itu, pasti akan kubuat patah karena sudah berani menyakiti mama.

"Kalau mereka nuntut bukti, kamu mau bagaimana?" Kualihkan pandangan ke arah Caraka yang sedang mengutak atik ponsel di tangannya.

"Aku buat mereka enggak bisa minta bukti." Caraka menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel. "Kamu tenang aja. Meski enggak bukti, tapi kamu punya saksi mata. Kebetulan dia anak OSIS."

Aku diam saja menyimak, membiarkan Caraka fokus pada benda elektronik di tangannya. Entah hanya penglihatanku saja atau bukan, wajah Caraka terlihat lebih tampan saat serius melakukan sesuatu. Aku bahkan sampai tidak sadar memandanginya terlalu lama jika Mbak Meli tidak menegur ketika datang bersama ibu usai mengurus administrasi.

"Ngeliatinnya jangan lama-lama, Jul." Celetukan Mbak Meli berhasil membuat pipiku memanas. Demi kaos kaki Garry, aku malu sekali saat ini! Rasanya seperti habis ketahuan maling jemuran.

"Apaan, sih, Mbak. Siapa juga yang liatin dia. Orang aku liatin tirainya. Lucu, warna pink." Aku langsung melarikan pandangan ke mana pun asalkan tidak ke wajah Caraka. Bahkan semut yang berbaris, berjalan di dinding pun kujadikan atensi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 08 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Not an Ordinary Love StoryWhere stories live. Discover now