Iqala tersenyum tipis, “Okey, ditunggu undangannya sama Jay.”

Eca membulatkan matanya mendengar itu. “Dih enggak ya.” Iqala menyipitkan matanya,

“Gua rasa kalian bisa jadi partner yang oke sampe akhir hayat.” Ucap Iqala, ia bukan sekedar menggoda, tapi juga mendoakan ke dua sahabatnya itu.

Jay tidak berkomentar, ia hanya menghela napas.

“Baik-baik lu sama Eca, jagain.” Itu pesannya pada Jay, sebelum mereka benar-benar tidak bertemu lagi dalam waktu yang lama.

. . .

5 tahun Kemudian,

Ada pepatah mengatakan bahwa waktu adalah obat terbaik, gadis yang sudah menginjak kepala tiga itu setuju, siapa lagi kalau bukan Iqala Adreena.

lima tahun lalu dirinya mungkin berada di titik terendah. Ia kehilangan banyak hal termasuk pekerjaan yang selama bertahun-tahun menjadi tempat bergantungnya.

Setelah resign dari tempat kerjanya dulu, Iqala memilih berobat dan menjalankan terapi beberapa bulan sampai kejiwaannya stabil. Setelah itu, ia mencari pelarian ke pesantren di daerah jawa untuk mencari lagi jati dirinya dan makna hidupnya. Ia membuka diri ke tempat asing yang katanya berisikan orang-orang baik.

Kali ini ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ke dua. Ia belajar dengan giat, mencari tahu apa yang salah selama ini ketika ia menjalani hidup. Sampai akhirnya ia bisa bangkit lagi, ia punya mimpi lagi dan memiliki tujuan hidup yang sebenarnya.

Ia bertemu banyak orang, dari mulai dokter yang merawatnya, para guru di pesantren yang menerimanya. Ia tidak ragu belajar dari orang-orang kecil, dari pedagang kaki lima. Ia mencari jawaban kenapa dulu bisnisnya bisa gagal. Bahkan dari orang random yang ia temui diperjalanan, semua itu ia serap dan menjadi pelajaran yang berharga.

Ia bertemu mentor-mentor yang mengajarkan banyak sekali ilmu tentang bisnis, belum lagi, ia bertemu orang-orang  yang mengajarinya betapa penting mempelajari financial Planning. Lima tahun terakhir, ia banyak sekali bertemu orang-orang hebat, orang-orang yang melatih ketajamannya untuk berhati-hati dan lebih bijak mengambil resiko dan keputusan.

Iqala sudah meninggalkan masa lalunya, ia tidak menutup diri lagi. Ia mencoba membuat relasi sebanyak mungkin. Menemukan banyak pengalaman baru, lalu mengasah keterampilannya hingga ia bisa survive, kemudian memiliki kehidupan yang lebih baik.

Satu hal yang Iqala sadari, ternyata usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Ia kini paham mengapa dulu ia kehilangan banyak hal, dirinya tidak pernah bersungguh-sungguh dan selalu menginginkan hal yang instan tanpa mau mempelajari lebih dalam kala itu.

Kegagalannya di masa lalu ternyata menjadi tahapan untuknya bisa sampai di tittik yang sekarang. Tanpa itu semua, mustahil Iqala bisa memiliki pemikiran dan kehidupan yang lebih baik.

. . .

Sudah jadwalnya pulang ke rumah di Bandung, walaupun sudah 5 tahun Iqala tidak tinggal bersama Ayah, tapi ia sering mengunjungi ayahnya itu saat dirinya ada waktu kosong. Kehidupan Financial Iqala jauh lebih baik dari saat itu, ia kini menjadi seorang freelance Personal Assitant dari sebuah kantor di singapur yang sistem kerjanya remote. Tugasnya cukup relate dengan pekerjaannya dulu. Ia juga menjalankan bisnis tambak ikan dan sayur hijau yang dikelolanya di daerah jawa tengah.

Ia ingin membawa ayahnya ikut serta, namun Ayah lebih betah di Bandung. Di rumah, Ayah ditemani adiknya Ayah yang sudah tinggal sendiri juga. Ayah dan paman menghabiskan waktu dengan menjalankan bisnis grosir. Ayah yang semasa mudanya tidak pernah berani mewujudkan mimpinya, kini bisa terealisasi, meskipun tetap dibantu Iqala. Ternyata putri semata wayangnya memang bisa diandalkan.

Sore itu, Iqala tidak memberi tahu kepulangannya, Ia menggerek kopernya masuk ke halaman rumah. Paman yang tengah menyiram tanaman mendadak terkejut mendapati kepulangan ponakannya yang tiba-tiba.

“Assalamualaikum,” Ucapnya begitu membuka gerbang.

“Waalaikumsalam.” Paman langsung mematikan keran dan segera menghampiri keponakannya itu.

“E-eh kok gak ngabarin? Paman gak tahu kamu bakal pulang.” Adik selisih dua tahun dengan ayahnya tersebut bertanya keheranan.

Iqala tersenyum tipis, “Hihi surprise paman.” Jawabnya sambil melepas sepatu.

Paman mengambil alih koper Iqala, lalu membawanya masuk. Di dalam Ayah yang tengah memasak menghentikan aktifitasnya menyadari ada tamu yang datang.

Dan benar saja. “Maasyaallah anak ayah pulang.” Ia menghampiri putrinya dengan mata berbinar.

“Assalamualaikum ayah.” Iqala mencium tangan Ayah.

“Waalaikumsalam.” Jawab Ayah, “Ini kamu gak ada apa-apa kan? Kok tiba-tiba pulang, biasanya ngabarin dulu.” Ayah bertanya tanpa jeda sambil mengajaknya duduk.

Paman yang baru kembali dari menaruh koper di kamar Iqala menyela, “Surprise katanya.”

Iqala terekeh, pamannya menganggap itu serius, sedang Ayah melipat kening, menunggu jawaban Iqala.

“Temen deket aku nikah yah, gak enak kalau gak dateng.” Jawab Iqala sebenarnya.

Paman menyela lagi, “dududu..dudu, keponakan aku gak ingin juga kah.” Ia menggoda Iqala.

Ayah segera menghentikan itu, tidak mau putrinya kepikiran. “Hush.. nanti juga ada waktunya.” Ucapnya pada adik laki-lakinya itu.

“Yaudah kamu pasti cape, istirahat dulu. Ayah lagi buat makanan, nanti kita makan sama-sama.”

Iqala mengangguk, lalu pamit ke kamarnya.

IQALAWhere stories live. Discover now